Minggu, 11 Desember 2016

Bukan resensi buku: Jomblo Revolusioner

Judul: Jomblo Revolusioner
Penulis: Amrullah AM
Penerbit: Epistemic
Tahun terbit: September 2016
ISBN: 602-69503-3-8

Sedikit sinopsis dari buku ini:
"Jomblo Revolusioner berisi tentang semangat pergerakan, kisah unik dibalik rencana demonstrasi, hingga titik sunyi seorang jomblo yang jarang diketahui. Kita tahu, jomblo selalu identik dengan ratapan sedih dan kegagalan. Namun pada buku ini tak ada kisah cengeng semacam itu. Jomblo tidak dimaknai secara syariat sebagai kesendirian. Namun, dijabarkan secara luas sebagai hakikat kebebasan.
Secara umum, buku ini dibagi menjadi tiga bagian prasasti perjuangan. Itu meliputi bagian pertama, kedua dan ketiga. Bagian pertama berjudul Catatan Jomblo, berisi 19 kisah menarik yang menarik yang dikemas dalam sebuah catatan. Bagian kedua berjudul Secarik Pesan, berisi 12 surat kaleng tentang kegundahan hati aktivis pergerakan. Dan pada bagian ketiga, terdapat 6 permenungan yang dikemas dalam sebuah judul Semacam Renungan"

Sebelum saya ceritakan tentang isi buku ini, ada baiknya saya perkenalkan dahulu siapa penulis dibalik buku ini untuk yang belum tahu. Amrullah AM atau sering disapa Aam ini adalah seorang aktivis asal Tuban Jawa Timur, beliau adalah pengelola sekaligus pengurus perpustakaan Rumah Baca Bijaksana di Tuban. Pernah menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan Universitas Dr. Soetomo Surabaya.
Karena buku ini ditulis oleh seorang aktivis, tak pelak isi buku ini banyak berkisah tentang pergulatan seorang aktivis semasa penulis menjadi mahasiswa atau setelah lulus. Seperti kata penulis, ada sebagian dari tulisan dalam buku ini yang diambil dari blog pribadi si penulis yang sebelumnya pernah diunggah ke blog pribadinya. Didalamnya ada campuran jenis tulisan. Ada esai, cerita dan ada juga features. Ada sebuah esai yang membuat saya tersenyum sekaligus menangis di dalamnya. Esai itu berjudul "Biarkan mereka mati saja". Esai satir yang dibalut dengan bahasa yang njilemt namun tetap tak mengurangi kerenyahan ceritanya. Esai itu bercerita kurang lebih tentang penderitaan rakyat Indonesia yang sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di negeri yang dalam bahasa si penulis ijo royo-royo ini. Lalu ada ada lagi esai yang berjudul "Leba(y)ran" yang menggelitik sekaligus sebuah sindiran buat saya. Dimana esai itu bercerita tentang kebiasaan mengunggah foto di media sosial (termasuk kebiasaan memfoto makanan sebelum di makan lalu diunggah ke media sosial) yang sepertinya adalah kebiasaan kebanyakan anak muda hari ini. Lalu ada cerita tentang tiga serangkai Bari, Agus dan Ndemo yang ketiganya sudah meninggal ketika penulis menulis cerita tentang mereka bertiga akibat kecelakaan.
Ada banyak sekali cerita yang menarik dari buku ini. Beberapa telah saya ulas diatas. Kawan-kawan akan serasa diajak menyelami dunia aktivisme yang sunyi dan menggairahkan. Buku setebal 139 halaman ini wajib dibaca bagi kawan-kawan yang butuh referensi bacaan yang ringan namun dengan isi yang padat dan berkualitas.

Sabtu, 10 Desember 2016

Bukan resensi buku: Down and out in paris and london

Judul: Terbenam dan tersingkir di paris dan london
Penulis: George Orwell
Penerbit: Oak
Tahun terbit: 2015
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-60272536-0-5

Siapa yang tidak tahu George Orwell, sastrawan asal Inggris yang terkenal lewat novel klasik fenomenalnya yang berjudul Animal Farm. Selain Animal Farm, Orwell juga terkenal karena menulis novel "1984" yang tak kalah fenomenal dari Animal Farm. Walau banyak novel lain yang menurut saya juga tak kalah menarik dari dua novel diatas seperti salah satunya "Down and out in paris and london" yang sedang saya bahas ini.
Novel ini disadur dari pengalaman hidup Orwell ketika hidup miskin di Paris dan London setelah memutuskan berhenti menjadi polisi imperial Inggris di Burma tanpa persetujuan keluarganya. Novel yang syarat akan nilai-nilai moral dan agak sedikit satir ini cocok kiranya jadi whislist kawan-kawan. Kita akan diajak berkelana jauh ke paris dan london pada tahun-tahun 1930-an dengan berbagai dinamikanya. Di paris Orwell berteman dekat dengan seorang mantan tentara Rusia yang juga hidup miskin sepertinya. Boris, dia bertubuh tegap layaknya tentara pada umumnya adalah sahabat setia Orwell ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup di paris. Mereka rela berbagi ruang meski hidup mereka sangat miskin. Di london, Orwell bertemu dengan Paddy. Seorang gelandangan yang menjadi sahabat setia ketika menghadapi hari-hari tanpa pekerjaan di london. Ada Bozo, seorang teman Paddy yang bekerja sebagai pelukis jalanan atau screever dalam bahasa mereka. Seorang seniman ulung yang menurut Orwell dia tak pantas menjadi tunawisma karena kecerdasan intelektual yang dia miliki berbeda dari para gelandangan lain. Bozo juga menyimpan beberapa karya sastra terkenal yang tak semua gelandangan mempunyai passion seperti dirinya dalam hal seni. Dia mengajarkan banyak hal pada Orwell dan membuat Orwell kagum padanya. Walau begitu, mereka kadung di cap sebagai gelandangan monster yang dalam citra masyarakat adalah sebuah penyakit sosial yang akut. Namun dimata Orwell, gelandangan tidak melulu bercerita tentang mereka yang suka mencuri, pemerkosa, pemabuk dan cap buruk lainnya. Gelandangan dimata Orwell adalah seperti sebuah mobil yang berjalan di sisi kiri jalan, dia ada karena sebuah peraturan konyol. Disini yang membuat saya hanyut dalam plot novel ini. Sebuah pesan moral yang tak banyak penulis se-zaman Orwell tampilkan ke permukaan.
Kawan-kawan akan terenyuh sambil sesekali bertanya dalam hati "kok ada orang yang bisa hidup semiskin ini?". Harus berpindah dari satu Lodging House satu ke Lodging House lainnya dengan uang sewa yang kadang berebutan dengan uang tembakau, roti dan teh. Jangan pikirkan bagaimana Orwell hidup dengan seorang pendamping. Bisa makan saja sudah cukup di syukuri ketika hidup tanpa pekerjaan seperti itu.
Dan menariknya, Orwell selalu menyelipkan sebuah komentar-komentar dalam setiap bab-nya sebagai "pemanis" dalam novel ini. Berbeda dengan novel-novel zaman sekarang yang kebanyakan lebih mengedepankan konflik-konflik internal dalam novel untuk membuat pembaca terhanyut, namun novel ini berbeda. Orwell seperti sedang berkhutbah dalam novel ini dengan berbagai macam pesan moralnya namun dengan gaya sastra yang magis. Sehingga kita seperti sedang tak dikhotbahi ketika membacanya.
Selamat membaca !

Rabu, 07 Desember 2016

BACK TO RADIO

Di medio 2003-2005 ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, tape adalah barang yang wajib ada disamping bantal dan guling. Sebelum Steve Jobs terkenal dengan iPhone-nya sekarang, radio adalah saluran alternatif terbaik untuk mencari informasi. Sudah lama kebiasaan itu saya tinggalkan karena sudah termasuk kegiatan kuno yang banyak tergantikan oleh perubahan zaman dan modernitas yang tak bisa dibendung lagi lewat smartphone-nya. Walau di smartphone ada fitur radio, namun rasanya aneh jika mendengarkan radio lewat smartphone. Apalagi smartphone bisa lebih lentur dalam mencari informasi dengan mengakses via google ketimbang lewat radio. Beberapa malam terakhir entah saya kesambet setan mana, saya iseng membuka fitur radio lagi dan mencoba mencari frekuensi yang cocok dengan selera saya. Awalnya aneh. Ada rona yang tak biasa di seisi ruangan kamar saya ketika radio mulai membahana disana. Perlahan namun pasti, saya mulai menikmati setiap detik momen itu. Frekuensi radio saya hentikan di chanel MORA FM. Chanel radio yang hingga saat ini sering diputar oleh kakek saya itu mengingatkan saya kembali pada suara khas sang penyiar yang lebih mirip monolog ketimbang siaran radio. Isinya tak lebih dari berita nasional dan domestik belaka. Namun cukup membuat nostalgia itu mengharu biru di seisi ruangan. Saya putar kembali ke chanel yang lain. Saya temui chanel radio yang sedang memutar lagu Peter Pan (yang sekarang menjadi Noah). Nostalgia itu terasa sempurna dengan alunan lagu "Menghapus Jejakmu". Dua nostalgia yang membuat saya memutar memori kembali ke tahun 2008-an yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Saya putar lagi ke chanel yang lain. Saya dapati Wayang Golek sedang mengudara. Ingatan saya melayang kembali ke tahun 2010-an yang lalu. Di tahun itu saya terbiasa menghabiskan waktu bermain catur malam hari di pos kamling sambil mendengarkan Wayang Golek mengudara bersama seorang sahabat. Rasanya nostalgia itu tak hanya berakhir sampai disini. Banyak hal yang membuat saya ingat kembali tentang banyak hal dari sebuah radio. Mungkin kebiasaan ini akan saya hidupkan kembali. Mendengarkan radio sambil membaca buku lalu ditemani kopi hangat rasanya adalah pilihan paling logis ketimbang harus membuka akun-akun media sosial yang tak ada gunanya. Selain itu, kegiatan ini tak membutuhkan biaya terlalu banyak. Saya sarankan kepada kawan-kawan agar mencobanya kembali agar ingatan kita terawat tentang era keemasan Radio yang hari-hari ini sudah banyak ditinggalkan anak muda kebanyakan.

Kamis, 24 November 2016

Bukan Resensi Buku: Aku, buku dan sepotong sajak cinta

Judul: Aku, buku dan sepotong sajak cinta
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Scripta Manent
ISBN: 979-99561-3-1
Tahun terbit: Cetakan baru agustus 2016

Sudah lama saya ingin mengulas tentang buku yang satu ini. Namun karena berbagai kesibukan, beberapa kali sempat saya simpan di draft dan tak pernah rampung saya selesaikan. Malam ini saya kembali membacanya. Walau hanya beberapa bagian saya baca kembali, namun cukup membuat saya kembali merasa dihantarkan kedalam dunia si "Aku" yang serba penuh petualangan dengan buku itu. Tebak apa yang membuat saya begitu jauh hanyut dalam plot novel ini? Ya. Saya begitu terkesima oleh kehidupan si "Aku" dalam novel ini. Dia sosok sederhana yang begitu tergila-gila terhadap buku dan memutuskan untuk mencoba menulis agar bisa terus bertahan hidup dalam rinainya dunia perbukuan di Jogjakarta. Sebetulnya buku ini terilhami dari pengalaman pribadi si penulis yaitu Muhidin M. Dahlan. Namun Gus Muh (sapaan Muhidin) menyajikannya dengan lebih universal dan memasukan nama-nama samaran untuk beberapa tokoh yang hadir dalam buku ini. Jujur saja, ini buku yang membuat saya kembali ingin menulis dan membaca buku. Setelah beberapa tahun kegiatan tulis-menulis dan baca-membaca saya tertunda karena terlalu sibuk bekerja.

"Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya." Begitulah kira-kira seruan dari sebuah manifesto penuh dendam dari kekalahan nasib si "Aku" dalam buku ini yang membuat saya berkali-kali jatuh cinta terhadap buku ini. Banyak gaya penulisan yang saya pelajari dari buku ini yang saya tiru. Karena jujur saja, gaya semacam ini dangat mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Bahkan bagi mereka yang kurang memahami sastra sekalipun seperti saya. Konflik-konflik dalam buku tak terlalu membuat dahi berkerut. Dan satu hal lagi yang membuat saya suka dengan buku ini adalah; banyak kutipan para penulis besar maupun tokoh yang tak pernah saya temui sebelumnya. Nama-nama seperti Allan light, desiderius eramus, pramoedya ananta toer, tan malaka hingga jalaluddin rakhmat sesekali disebut dalam buku ini.


Seperti judul tulisan ini diatas, ini bukan sebuah resensi buku. Hanya sebuah ungkapan rasa kagum saya terhadap buku yang mampu membuat saya semakin gemar membaca kembali ini. Jadi selamat kecewa bagi kalian yang berharap saya mengulasnya secara mendetail dengan gaya peresensi senior yang mampu menyihir anda. Saya sarankan bagi kalian yang suka membaca novel fiksi, buku ini menjadi rekomendasi pertama saya. Apalagi bagi mereka yang haus akan buku yang kaya akan karya sastra, buku ini hadir kembali untuk mengisi kekosongan itu. Akhirul kalam. 

Sabtu, 19 November 2016

Basa-basi

Lama tak menulis. Bukan karena sibuk, namun hari-hari ini jari serasa kaku membabar kata demi kata dihadapan keyboard karena lama saya tak membaca buku. Imaji serasa kering jika tak dinutrisi vitamin pengetahuan. Mengakses internet pun jarang saya lakukan. Sekali lagi bukan karena sibuk, tapi malas kadung jadi teman setia setelah banyak waktu luang di cipanas.
Sudah berbulan jari ini tak menari dihadapan keyboard. Rasanya malu untuk menjentikkannya lagi, malu karena rindu terlanjur jadi gejah antara keyboard dan jari ini.
Hampir tiga minggu saya menetap kembali di cipanas setelah beberapa minggu lalu pulang dari tanah asing Tobelo. Banyak kisah yang ingin saya tulis menyoal kota itu. Namun energi saya banyak terkuras akhir-akhir ini untuk aktivitas yang lain ketimbang mengingat memori tentang Tobelo dan menuliskannya. Mungkin lain kali saya akan menuliskannya dalam sajak, esai atau sejenisnya jika saya mau. Karena saya tahu menulis tentang kota itu tak akan semudah mengerjakan PR anak kelas 1 SD. Tulisan ini hanya sebagai obat penat saya dalam menjalani hari yang lumayan berat setiap harinya, bukan sebuah catatan spesial karena sudah lama tak menulis. Walau sebenarnya ada banyak tulisan yang berjejal di draft yang belum selesai saya lanjutkan tentang banyak hal. Dan terakhir sebelum mengakhiri tulisan ini, mungkin nanti tulisan saya akan jarang ditemukan di internet. Bukan karena sombong atau sok misterius. Namun saya memang sedang banyak membaca buku akhir-akhir ini dan mengurangi aktivitas menulis saya. Karena saya rasa ada banyak sekali koreksi disana-sini dalam tulisan saya yang harus saya perbaiki. Akhirul kalam

Sabtu, 05 November 2016

Sebuah catatan pendek tentang perjalanan menuju halmahera utara (2)

Tepat pukul 07:04 pesawat yang saya tumpangi dari jakarta tiba di bandara Sultan Babulah Ternate. Sepanjang perjalanan udara itu saya enggan tidur. Mata tak bisa diajak kompromi. Saya hanya sesekali membaca buku dan kadang menerawang keluar jendela pesawat yang masih gulita. Sempat beberapa jam transit di Makassar namun pesawat dan kru-nya masih tetap sama. Penumpang pun tak banyak yang berubah.
Dipagi yang sudah terik itu ditengah kelelahan yang sangat saya sempatkan menyalakan handphone karena semenjak dipesawat sengaja saya matikan. Tak ada pesan baru atau apapun. Saya taruh dalam saku dan meluncur menuju orang-orang yang sibuk menawari tumpangan dari bandara. Seperti sebelumnya, terjadi percakapan alot soal harga yang cocok sebagai sewa yang akan disepakati. Saya enggan berdebat. Tak banyak bicara saya langsung sepakat saja dengan harga yang ditawarkan supir karena lelah kadung saya tahan. Saya menuju pelabuhan Ferry dengan 2 orang lain yang tak saya kenal dalam mobil. Hanya beberapa menit tak sampai setengah jam saya sudah tiba. Lapar membawa saya menuju warung nasi dengan menghambur.Walau dipesawat disediakan makanan sampai dua kali, namun nafsu makan saya sedang tak berselera. Saya pesan makanan sambil bertanya itu ini kepada si ibu penjual nasi. Karena baru kali ini saya masuk ke pelabuhan Ferry. Ada dua alternatif menuju sofifi sebenarnya; pertama memakai speedboat namun harganya sedikit mahal namun dengan waktu yang lebih efisien, kedua  ya memakai Ferry ini. Walau memakan waktu dua jam namun harga relatif murah untuk kelas ekonomi rendahan seperti saya; 23 ribu jika saya tidak salah harga untuk satu tiket dewasa.
Setelah menunggu beberapa jam akhirnya Ferry yang saya tunggu tiba. Segalanya bersicepat entah dengan apa. Semua orang tampak sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menuju lorong tempat Ferry bertengger.
Didalam kapal saya duduk dilantai kedua. Karena lantai paling bawah disediakan untuk kendaraan seperti truk hingga motor. Saya memilih lantai dua bukan tanpa alasan. Beban yang saya bawa sangat berat berkombinasi dengan lelah yang sejak tadi pagi bergelayut tak memungkin saya berjalan jauh. Apalagi setelah makan rasanya mata tak bisa dikompromi. Dalam situasi seperti itu rasanya saya menyesal membawa buku banyak-banyak. Namun di lain waktu, saya bersyukur bisa membawa banyak buku bacaan. Persis seperti ketika saya menunggu Ferry tiba, sempat saya bersyukur karena bisa membunuh kebosanan dengan membaca buku yang saya bawa. Saya pilih buku ringan saja. Journey-nya Danielle Steel sepertinya cocok menjadi pengisi energi kala dalam lambung kapal besi itu. Mata tak bisa lagi berkompromi. Saya tidur sejenak dan menutup buku. Perjalanan melelahkan ini rasanya tak habis-habis.
Setelah terbangun, dan kapal mulai bersandar di pelabuhan sofifi. Saya mengankat koper lalu turun ke dek paling bawah sambil menyeka mata yang setengah sadar. Saya mengira ini perjalanan Bogor-Banten yang hanya memakan waktu beberapa jam saja, namun sekali lagi saya salah. Saya segera menghambur bersama penumpang lain bersicepat menuju jalan keluar. Di pelabuhan saya tak banyak tingkah, memesan mobil ke arah tobelo lalu sambil menunggu penumpang lain yang hendak menuju tujuan yang sama sambil terus merapal lelah. Kira-kira butuh waktu 4 jam sebelum sampai di pondokan. Saya hanya sesekali tertidur dalam mobil karena tak kuasa menahan lelah. Walau buku saya pegang tapi tak sampai hati untuk membacanya. Jam sudah menunjukkan pukul 18.15 WIT. Perjalanan molor beberapa jam seperti yang saya rencanakan karena beberapa hal. Tapi sudahlah. Saya berhenti tepat didepan jalan pondokan dan langsung menghambur masuk membuka kunci kedalam pondokan dan sejenak beristirahat sebelum mandi dan pergi solat magrib.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Saya dan buku

Belajar hidup kaya dalam kemiskinan
Belajar hidup sombong dalam kebersahajaan
Belajar hidup gembira dalam kesedihan

Usia saya belum genap dua puluh empat tahun. Untuk ukuran pemuda yang mulai beranjak dewasa seperti layaknya pemuda lain yang seumuran, saya bisa dikatakan gagal dalam proses bertumbuh. Bayangkan saja, teman-teman seusia saya sekarang minimal sudah mempunyai kendaraan roda dua hasil jerih payah mereka-entah itu dari menabung atau riba dengan mencicilnya-karena kalian tahu lah zaman sekarang ukuran sukses seseorang bisa dilihat dari seberapa banyak harta benda yang dia dapatkan dari hasil bekerja. Bukan hanya itu, untuk pemuda seumuran saya setidaknya sudah punya rencana untuk menikah dengan lawan jenis dan mulai menabung untuk pernikahan kelak. Sedangkan saya jangankan tabungan untuk bisa makan saja susahnya alang-kepalang. Karena bagi saya, bekerja hanya untuk bisa makan dan membeli buku. Itu saja tak lebih.
Saya tumbuh seperti layaknya kebanyakan remaja urban pinggiran kota lainnya yang dijejali hidup komsumtif a'la orang barat. Seperti rata-rata anak urban poor lainnya, saya hidup sebagai pekerja upahan selepas sekolah menengah atas selesai. Mengadu nasib di dunia industri sebagai buruh saya pernah mencecapnya. Menjadi seorang pramuniaga disebuah swalayan pun saya pernah menjalaninya. Menjadi seorang pencuci piring di hotel berbintang lima pun pernah saya rasakan. Menjadi pelayan disebuah taman hiburan pun tak pelak saya alami. Apalagi menjadi buruh kasar serabutan yang gajinya untuk makan pun tak cukup saya pernah merasakannya. Maklum lah pendidikan saya tak pernah mengizinkan saya untuk bisa setidaknya bekerja di depan komputer dengan AC selama 8 jam dan mendapat bonus bulanan jalan-jalan ke bali setiap bulan bersama bos tak pernah saya rasakan. Karena minimal untuk bisa bekerja seperti itu selain memerlukan ijazah yang lebih tinggi dari sekedar sekolah menengah atas juga membutuhkan keterampilan khusus lainnya. Atau setidaknya kita punya cara lain seperti cara koruptif dengan masuk lewat kenalan atau sejawat dalam perusahaan yang bisa memposisikan kita pada pekerjaan tersebut. Karena ini bumi bukan surga, semuanya masih bisa terjadi walau jalannya tak di ridhoi.
Karena saya tak lahir dari keluarga cendana yang hartanya tak habis walau dirayak tujuh turunan bersama-sama jadi selepas lulus dari sekolah menengah atas saya harus langsung mencari kerja. Jangan bayangkan harus berwirausaha, selain karena saya tak berbakat disana, pula karena berwirausaha harus berbekal modal yang mumpuni agar ditengah jalan tak rugi. Jangan pikirkan pula saya bisa memilih, karena selepas lulus dari sekolah menengah atas saya hanya punya dua pilihan; (1) rela jadi sampah masyarakat dengan menjadi seorang pengangguran yang harus kuat menanggung beban sosial karena hidup ditanggung orang tua (2) berkompetisi dengan ribuan orang yang juga baru lulus dari sekolah menengah atas mencari pekerjaan ditengah lapangan pekerjaan yang sangat minim dan selektif dalam memilih karyawan.
Jangan pikirkan pula untuk melanjutkan sekolah menjadi mahasiswa, dalam keluarga saya bisa makan saja bersyukurnya sudah tak kepalang, apalagi bisa melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya. Memang saya sempat mendapat kesempatan beasiswa di salah satu unversitas komputer terkemuka di Bandung. Namun saya urung meminangnya. Ya apalagi alasnnya kalau bukan karena biaya. Karena beasiswa itu hanya membebaskan saya dari biaya awal dan penyeleksian semata, bukan membiayai saya samapai khatam jadi sarjana.
Jadi saya memutuskan untuk mencari kerja saja agar bisa dapat uang untuk sekolah adik-adik saya dan makan orang tua saja tadinya. Karena saya sejak kecil sudah ditinggal bapak jadi mau tak mau selepas sekolah saya harus membiayai hidup keluarga.

Saya masih ingat dulu ketika saya pertama kali melamar kerja di sebuah swalayan di kota. Belum bekerja saja, saya sudah harus mengeluarkan uang untuk memenuhi tetek bengek persyaratan dari perusahaan. Alhasil karena kami keluarga tak punya, mencari pinjamanlah solusinya. Waktu itu saya sudah berhutang sekitar 500 ribu pada bibi saya untuk membeli segala persyaratan perusahaan hingga menyewa kontrakan selama training pra-kerja di kota. Belum juga diterima saya sudah harus menghabiskan rupiah sebanyak itu dengan harapan nanti setelah mendapatkan gaji dari hasil sebulan bekerja saya bisa menggantinya. Jangan tanya soal berapa gajinya, waktu itu menjadi seorang pelayan di swalayan gajinya tak lebih besar dari seorang buruh upahan dipabrik.
Saya memilih jalan bekerja jadi pelayan bukan tanpa alasan. Kakak saya yang lebih tua beberapa tahun dari saya sudah bekerja diperusahaan yang sama yang saya lamar hari itu lima tahun lebih awal. Dan katanya bekerja disana lebih "menyenangkan" ketimbang bekerja jadi buruh pabrik. Tak banyak pikir, saya langsung memilihnya dengan harapan saya bisa segera mendapat uang hasil jerih payah sendiri agar bisa membiaya band saya dan bisa membeli beberapa kaset dari band favorit saya waktu itu. Tak pernah terbesit untuk membeli buku secuil pun.

Dan sekarang setelah berbulan menjadi sampah masyarakat dengan menjadi pengangguran akhirnya saya mendapatkan pekerjaan kembali. Memang gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk makan dan membeli buku. Itu saja cukup membuat saya bahagia tak keruan. Kawin? Ah rasanya belum ada pikiran sampai kesana hari ini. Walau ada seorang perempuan yang saya taksir namun rasanya saya tak pantas untuk dia. Mana mungkin perempuan cantik nan baik hati itu mau dengan saya yang miskin dan tak berpendidikan ini. Mau diberi makan apa nanti kalau sudah kawin? Tak mungkin juga kalau saya memberinya makan buku. Tak mungkin !!!

Sabtu, 01 Oktober 2016

Asep dan sepenggal cerita dari pesisir Halmahera

Namanya Tohir, namun saya lebih sering memanggilnya asep sebagai nama kunyah agar mudah dihapal. Dia berasal dari Garut, tepatnya dari daerah pamenungpeuk. Pesisir Jawa Barat yang terkenal dengan ke-eksotikan pantainya. Umurnya tak berbeda jauh dengan saya. Kira-kira dia baru menginjak 23 tahun. Wajahnya yang selalu menyunggingkan senyum mencerminkan watak asli Sunda pinggiran yang someah khas Jawa barat. Senyum itu bisa membuat meleleh wanita manapun yang melihatnya. Keramahan Asep menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa. Walau tampangnya tak terlalu tampan seperti artis korea, namun sudah bisa dipastikan dia termasuk pemuda yang baik. Saban hari dia selalu solat berjamaah di mesjid bersama saya. Walau sudah bertahun di Halmahera, Asep tetap tak kehilangan watak Sunda-nya yang khas ketika berbicara. Saya lupa kapan pertama kali berkenalan dengannya. Mungkin disatu hari pada pertengahan bulan di medio 2015. Kami belum lama bersahabat. Namun semangat egaliter dan solidaritasnya membuat saya salut pada Asep. Saya ingat ketika pada suatu malam ketika saya sedang sakit dan tak bisa keluar untuk membeli makan, dia rela berjalan kaki beberapa ratus meter mengantarkan makanan untuk saya. Karena diperantauan, saudara hanya mereka yang satu suku denganmu, lain tidak. Dia bekerja pada Mas Ali sebagai penjual mainan anak-anak. Setelah sebelumnya pernah berjualan batu akik ketika awal menginjakkan kakinya di halmahera. Waktu itu dia datang bersama dengan tetangga satu kapungnya dari Garut. Namun karena kesalahan teknis dan manajemen, asep memutuskan untuk mencari pekerjaan baru dan berakhir menjadi tukang mainan. Asep biasa menjajakan mainannya ke kampung-kampung seperti Galela dan Kao. Disana dia banyak mempunyai langganan. Dan dagangannya selalu laris. Dia bukan tipe pemuda seperti kebanyakan yang manja dan suka merengek pada orang tua jika punya keinginan. Asep adalah sebuah simbol keteguhan dan kerja keras yang berani mendobrak batas dengan pergi merantau dari kampungnya yang damai menuju pergulatan di kota orang untuk mencari nafkah. Dia berani merubah stereotype lama; bahwa orang sunda tak bisa merantau jauh dari kampung.
Hari-hari bersama asep membuat saya sadar tentang satu hal; bahwa saudara tak harus selalu bertalian darah. Dia banyak mengajarkan saya hal baru dan berguna di Halmahera. Dulu, jika kita sedang tak banyak pekerjaan kita selalu menghabisakn waktu dipinggir pantai belakang rumah dengan debat kusir tentang segala hal. Termasuk tentang kontroversi negara islam dan kewajiban berhijrah bagi seorang muslim yang sampai hari ini belum tuntas dibahas. Dihadapan kopi dan pisang lumpur biasanya kita tertawa terbahak menertawakan nasib kita berdua yang harus bertemu di timur jauh dan bekerja sebagai buruh upahan. Walau dia dibesarkan oleh tradisi pesantren yang disiplin, tak menghalangi kami untuk tetap bersahabat walau saya lahir dari tradisi jalanan dan dibesarkan oleh musik yang sepintas bertolak belakang dengannya. Toh perbedaan tak harus disamakan.
Setelah bertahun di Halmahera Asep memutuskan untuk pulang karena sejak datang dia tak pernah pulang sekalipun. Bahkan ketika Lebaran tiba dia hanya meratap sendiri di hadapan ketupat dan lalampa sambil sesekali menahan rindu.
Nanti jika kita sudah pulang ke kampung masing-masing kami berjanji untuk sesekali berkunjung untuk bersilaturahmi. Namun keinginan itu belum terwujud hingga saya menulis tentangnya hari ini. Sep semoga Alloh melindungimu dimanapun dan kapanpun. Alloh Maha Tahu Asep adalah satu diantara segelintir orang baik yang masih tetap konsisten memegang kebenaran ditengah alam kapitalisme hari-hari ini yang membuat orang semakin tamak menumpuk harta dan semakin individualistik.
Saya tak bisa membalas semua kebaikannya. Sehingga saya putuskan menulis tentangnya sebagai rasa terima kasih yang tak bisa saya ungkapkan langsung.

Cipanas 21 November 2016

Senin, 19 September 2016

BAHAGIA ITU RELATIF; Penyangkalan

Bagiku bahagia itu tak mudah. Bayangkan !! Kau harus rela menyisihkan uang hasil kerjamu selama berbulan lalu menyimpannya serapat mungkin agar kau tak tergoda untuk membelanjakannya untuk hal lain yang sebetulnya sama pentingnya dengan buku.
Selain harus memilah buku apa yang harus kau beli dengan harga yang cocok dengan sakumu, kau juga harus rela menahan godaan lapar ditengah malam ketika membaca buku karena uang makanmu sudah sedemikian rupa dipangkas untuk bisa membeli buku baru yang kau butuhkan.
Kau pernah bilang bahagia itu sederhana, tapi untukku tidak.
Kau bilang bahagia itu mudah, hanya dengan duduk diteras rumah, melamun dihadapan secangkir teh hangat dan makanan ringan sambil sesekali mengomentari hidup orang lewat sosial media saja. Tapi untukku tidak.
Bahagia itu relatif ! Tafsirnya memang mudah, namun realisasinya yang susah.
Kau bilang bahagia itu gampang. Tinggal duduk didepan televisi, bercengkrama dengan keluarga ihwal telenovela mana yang cocok dengan moodmu hari ini, sekali lagi untukku tidak.
Bahagia itu relatif. Kau harus belajar bahagia atau aku yang harus belajar bahagia?
Aku lapar kau suruh bahagia, aku terkantuk kau suruh bahagia, aku lemas kau suruh bahagia.
Satu lagi, bagiku bahagia iru relatif. Menadah air malam hari untuk mandi esok pagi karena esok pagi air dari perusahaan daerah tak selancar malam hari, kau sebut itu bahagia?
Bagiku bahagia itu relatif. Bisa saja aku kenyang namun tak kunjung bahagia karena tak ada buku baru tahun ini.
Jadi bahagia itu relatif !

Sabtu, 17 September 2016

AKU DAN IGAUAN-MU

Aku bertanya
Kau mengigau
Kau balik bertanya
Aku berguarau

Dimana akhir percakapan kita sebenarnya?
"Dari awal kau bicara" tukasnya
Kau tanya tentang aku,
Kujawab aku itu kamu

Kutanya "kau mengigau?"
Kau jawab "tidak tahu"
Kau tanya "aku mengigau?"
Kujawab "aku ini kau"

Dibibir pantai Indonesia timur, 2016

Jumat, 16 September 2016

Sajak untuk Surti (2)

Semua tetap sama seperti dulu
Aku yang malu-malu
Dalam diam memendam rindu
Juga tetap ingin tahu tentang kabarmu

Tapi sekarang aku punya cara baru
Cara baru mengutarakan rindu
Rindu yang sudah jadi bebal dan batu
Diam-diam memuisikanmu

Kukirim sajak dari ratusan mil jauhnya
Berharap angin menggelinding mengejawantahkannya
Atau laut sudi mengantarkannya kedepan rumahmu
Supaya rindu tak jadi bebal dan batu

Surti, jika nanti malam kau memimpikanku

Itu tanda dari sajak ku yang telah sampai didepan rumahmu


Dibibir pantai Indonesia timur 2016


MEMBACA BUKU DAN KESUNYIAN

MEMBACA BUKU

Siang itu saya bergegas menuju kantor pos untuk menjemput kiriman buku dari seorang teman di jogja. Ditengah terik matahari, mega yang menyeringai dan rasa penasaran akut saya berjalan dengan harapan buku yang saya pesan telah sampai dengan selamat. Karena sudah hampir 2 minggu buku pesanan saya itu tak jua datang. Siang itu sengaja saya memberanikan diri datang ke kantor pos. Namun kecewa alang-kepalang ternyata kantor pos tutup hari itu.
Dengan berjuta kecewa saya pulang dan tak sempat merapikan wajah yang kusut akibat perjalanan yang saya tempuh dari rumah ke kantor pos yang lumayan sangat jauh itu.
Beberapa minggu lalu saya memesan buku berjudul Aku, buku dan sepotong sajak cinta karya penulis favorit saya Muhidin M Dahlan. Besar harapan saya agar buku itu dapat langsung saya santap hari itu. Namun takdir berkata lain. Mungkin ada beberapa masalah teknis sehingga buku yang saya pesan belum sampai, saya ber-husnudzon saja.

Beberapa tahun lalu, saya sama sekali tak suka membaca. Walau banyak buku yang saya punya dan ada beberapa hadiah dari orang-orang tertentu. Namun membaca buku adalah hal yang sangat jarang saya lakukan waktu itu. Bukan hanya karena membaca adalah hal membosankan, juga karena hobi saya waktu itu masih lebih menyenangkan ketimbang membaca buku; bermain musik.
Namun perlahan ketika keadaan menyeret saya pada suatu kondisi dimana musik menjadi sangat membosankan dan kebutuhan terhadap informasi sangat mendesak sehingga saya terpaksa harus rajin membaca buku sebagai penghilang kebosanan, pelipur lara juga alasan berlawan.
Karena membaca adalah batu penjuru dari edukasi, dan edukasi adalah hal paling vital dalam aktivisme maka dari itu saya rela mengahabiskan waktu hanya untuk membaca.
Selain menghabiskan waktu, membaca buku juga kadang memiskinkan. Maklum lah saya hanya seorang buruh upahan yang penghasilannya untuk makanpun masih pas-pasan. Jadi saya harus rela membagi uang hasil kerjaan saya dengan ratusan kebutuhan lainnya. Menabungnya dengan harapan jika ada buku yang diinginkan nanti saya bisa langsung memesannya.
Juga ada alasan lain yang membuat saya jadi sedikit gemar membaca akhir-akhir ini.
Karena handphone yang saya punya waktu itu tak memungkinkan mengakses berbagai informasi dengan lancar, makanya saya hanya bisa mencari alternatif informasi dengan bentuk tulisan. Harus dimaklumi sekali lagi handphone saya tak bisa dengan cepat mengakses video dan berbagai audio visual lainnya sedangkan kebutuhan akan ilmu dan informasi membuat hasrat keingin-tahuan saya semakin tinggi. Jadi alternatif terbaik waktu itu hanyalah dengan membaca.
Akhirnya kecintaan saya terhadap membaca tumbuh sedikit demi sedikit seperti layaknya ABG yang baru jatuh cinta pada lawan jenisnya.

KESUNYIAN

Saya memang orang yang jarang bersosial dengan banyak orang. Menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol ngalor-ngidul tentang hal yang tak jelas membuat saya tak nyaman.
Maka dari itu saya memilih berjarak dengan khlayak agar terhindar dari sindrom-sindrom obrolan basa-basi yang tak jelas juntrungnya.
Saya lebih memilih mengahabiskan waktu sendirian dengan membaca buku atau artikel-artikel pendek sebagai pengisi waktu senggang.
Begitu pun di halmahera ini, sepulang dari bekerja saya lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku sendirian ditengah keheningan malam agar suasana hati kembali memancarkan rona dari keterasingan personal seperti lazimnya seorang jomblo lainnya.
Rasanya ada korelasi yang selaras antara kesunyian dan membaca buku. Dua hal tersebut sepertinya sudah ditakdirkan untuk tetap bertemu.
Bagi orang-orang yang menyandang penyakit kesepian akut seperti saya, membaca ditengah keheningan malam adalah hal yang paling membahagiakan ditengah-tengah dunia yang menyedihkan ini.
Saya rasa itulah alasan kenapa banyak dari para jomblo sejati seperti Tan Malaka dan William Sheakspear bisa membuat banyak buku; mereka lebih menyukai kesunyian dan membaca buku dariapada harus mengahabiskan waktu dengan lawan jenis yang tak ada gunanya.
Membaca ditengah malam sepulang bekerja memang bukan hal mudah, selain harus menahan rasa kantuk yang menggila diujung pelupuk mata juga waktu-waktu seperti itu sangat sulit saya dapatkan dimana kita harus berselaras dengan heningnya malam dan tetap berusaha fokus ditengah ingatan-ingatan tentang pekerjaan yang menuntut keseriusan esok harinya.
Tapi beruntunglah karena saya adalah orang yang sedikit dapat bertahan walau hanya beberapa jam dengan membaca buku ditengah heningnya malam seperti itu.
Hingga sekarang saya tak tahu akan berakhir sampai kapan hobi saya ini. Mungkin 2 sampai 3 tahun kedepan akan ada hobi baru yang menggerus hobi lama saya ini. Atau mungkin akan tetap bertahan walau sedikit demi sedikit harga buku sudah mulai melambung akhir-akhir ini dan saya akan segera mengakhirinya lalu mencari hobi yang sedikit murahan agar dapat tetap membunuh kebosanan dan memiliki passion ditengah dunia yang hiruk-pikuk ini. Entahlah . . . . Hanya Tuhan yang tahu.

Kamis, 15 September 2016

Bukan Resensi buku: Going Home-tambatan hati

Jika tidak salah saya sudah 2 kali membaca novel lawas ini dan tak pernah merasa bosan.
Awalnya hanya iseng pengisi waktu saja. Tapi setelah hanyut terbawa plot, ternyata buku setebal 409 halaman ini mampu membuat saya menangis dan tertawa sendiri.
Seperti semua novel Danielle Steel lainnya, Going Home bercerita tentang seorang wanita karir bernama Gillian Forester yang hidup menjanda bersama seorang anaknya bernama Samantha ditengah hiruk-pikuk kota New York yang liar dan gila.
Lika-liku asmara yang dibumbui dengan roman ala sastrawan perancis yang romantis namun dengan kemasan bahasa yang lugas dan mudah dicerna pembaca awam seperti saya membuat novel ini seakan membawa kita berada ditengah-tengah konflik yang dialami oleh si Gillian.
Alur ceritanya yang sedikit kompleks awalnya membuat saya merasa bosan.
Namun ditengah-tengah cerita yang mulai monotone tiba-tiba muncul sedikit dinamika yang menurut saya aneh namun malah semakin membuat novel ini tetap harus dibaca.
Pemetaan karakter yang terperikan lewat plot yang mudah ini lah Danielle Steel membuat saya jatuh cinta berkali-kali pada novel ini.
Kita bisa langsung tahu karakter seperti apa yang akan muncul mengisi alur ceritanya hanya dengan sekali membaca. Maklum lah saya adalah salah satu orang yang sering gagal fokus. Jadi novel ini cocok sekali untuk pembaca awam yang kurang suka membaca novel-novel serius seperti penulis novel fiksi zaman sekarang.
Dengan setting yang sederhana disebuah kota kecil di California dan beberapa tempat di New York semakin membuat novel ini wajib dibaca untuk kalian yang suka seri novela.
Namun saya sempat merasa kesal karena Gillian harus bertemu dengan pria brengsek seperti Chris Matthews dalam novel ini. Chris yang brengsek namun romantis dengan caranya sendiri digambarkan oleh Danielle lewat gestur yang berbeda dari novel-novelnya yang lain. Dia sukses membuat karakter Chris menjadi seorang tokoh protagonis dan antagonis secara bersamaan. Seperti malaikat-setan dalam satu tubuh.
Ada banyak kejadian tak terduga di dalamnya yang membuat saya lagi-lagi harus merasakan memungut tisue banyak-banyak. Untuk sebuah novel serapan bahasa asing, novel ini tak banyak menyajikan bahasa yang rumit. Tak ada metafor didalamnya untuk membuat kagum para pembaca. Alurnya juga cair mudah ditangkap oleh pembaca awam manapun, sehingga pantas buat saya mudah terhanyut oleh novel ini walau sudah berkali membacanya.
Rekomendasi sekali untuk kalian yang bosan dengan novel-novel kontemporer hari ini yang melulu hanya menceritakan roman ala remaja ingusan yang ujung ceritanya sudah dapat dipastikan.

Senin, 12 September 2016

Sajak untuk Surti

Sudah genap berbulan kita tak bersua.
Aku selalu ingin tahu apa kabarmu disana.
Aku juga selalu ingin tanyakan padamu bagaimana hari-harimu berjalan disana tanpaku.
Apa saja yang kamu lewati setiap hari dikantor tempatmu bekerja setiap hari.
Juga ingin kutanyakan buku apa yang sedang kamu baca akhir-akhir ini.
Dan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lainnya dibenakku yang setiap hari menumpuk tak terjawab.
Seandainya Tuhan itu tak ada, inginku tanyakan  apa kabarmu disana?
Tapi aku tahu diri, Tuhan itu ada dan sedang mengawasi kita.
Sehingga alangkah lebih baik jika aku melipat setiap tanyaku rapi-rapi lalu kuselipkan di setiap doaku dalam sujudku kepada-Nya.

Kamu tahu apa saja doa yang sering aku panjatkan dalam setiap solatku untukmu Surti?
Asal kamu tahu, aku selalu meminta agar Dia menjagamu dimanapun, kapanpun dan dari apapun yang berbahaya bagimu.
Selalu memintakan untukmu keberkahan, kelancaran dan kemudahan dalam setiap langkahmu meniti jalan-Nya.
Nampaknya doaku terlalu berlebihan, tapi hanya itu yang aku punya.
Aku tak punya keberanian untuk sekedar menanyakan kabarmu di sosial media. Padahal kontakmu aku punya.
Sesekali akupun selalu melihat status-statusmu.
Dan berharap ada satu yang kau tulis untukku.
Tapi aku tak kecewa kalaupun itu tak ada, mungkin kau lebih suka menyebutku dalam doamu dari pada dalam statusmu. Aku ber-husnudzon saja.

Oh iya apa kabar bapak-ibumu Surti?
Kuharap mereka baik-baik saja.
Mereka juga selalu aku doakan seperti aku mendoakan ibu-bapakku, namun tak sesering seperti aku mendoakanmu, Surti.

Maafkan aku Surti, aku tak pandai bersajak.
Sehingga banyak dari rima-rima ini berhambur tak teratur.
Ini hanya rangkaian kalimat-kalimat yang kususun dari puing rinduku padamu.
Jadi sekali lagi maafkan aku Surti.

Aku hanya tak bisa melihat kanvas kosong dan pena yang berkarat.
Lalu ku gabungkan jadi satu sajak hingga tamat.
Agar apa? Agar kamu tahu bahwa disini, ditempat asing ini ada orang hina yang selalu membasahi bibirnya dengan doa-doa lirih untukmu. Ya hanya untukmu . . .

Kamu tak perlu membalas sajak ini, membacanya pun adalah karunia bagiku.
Bahwa selama ini, di diamku ada doa yang berirama untukmu.

Dibibir pantai Indonesia Timur, 2016

Senin, 05 September 2016

Sebuah catatan pendek tentang perjalanan menuju halmahera utara (1)

Hati saya terlalu sensitif mendengar kata perpisahan, mungkin karena sudah terlalu banyak saya kehilangan dan ditinggalkan . . .

Hari itu tanggal 23 agustus 2016 sengaja sejak pagi saya mulai mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa. Dari obat-obatan hingga pakaian dan buku tak lupa saya masukan ke dalam koper. Saya sengaja membiarkannya merayap begitu saja agar tak susah saya ingat. Karena memang waktu saya tinggal beberapa jam lagi di cipanas pagi itu. Sore harinya saya harus benar-benar berangkat menuju bandara dijakarta karena jadwal penerbangan malam itu dipercepat satu jam menjadi jam 23:01.
Dengan waktu yang sedikit sempit itu saya sempat bertemu beberapa karib guna beremeh-temeh dihadapan beberapa gelas minuman agar menjadi marka jika suatu hari nanti kita memang tak akan pernah bertemu lagi.
Berbincang-bincang ringan tentang hal apa saja yang akan dilakukan akhir tahun ini tanpa saya dan banyak lagi obrolan menggantung lainnya yang tak sempat rampung kami selesaikan sore itu.
Tepat pukul 16:31 ba'da solat ashar saya mengemasi barang yang akan dibawa dan sengaja beberapa karib mengantar saya menuju bis yang akan saya tumpangi ke jakarta.
Sempat beberapa menit saya berpamitan dengan orang tua saya untuk terakhir kali sore itu.
Sore terakhir saya dicipanas, memang berat rasanya harus meninggalkan cipanas lagi. Walau keadaannya jauh berbeda dari 2 tahun lalu dimana semuanya begitu abu-abu dari sore itu.
Tak lama bis yang saya tumpangi bergegas perlahan meninggalkan cipanas menuju jakarta.
Rasanya ada yang tertinggal disana, tapi entah apa saya pun tak pernah tahu dan tak ingin menjawabnya jika itu memang benar-benar pertanyaan yang harus dijawab.
Beberapa jam kemudian saya tiba di terminal kampung rambutan di daerah jakarta timur. Tak lama saya singgah, saya langsung mencari tumpangan menuju bandara karena waktu itu malam sudah mulai turun menggantikan sore.
Setelah terlibat percakapan alot dengan supir yang akan membawa saya ke bandara soal harga ongkos yang disepakati, akhirnya kami bersepakat dan segera menuju bandara setelah singgah beberapa menit di sebuah super market untuk membeli beberapa makanan ringan. Karena saya tahu dibandara harga makanan ringan tak akan semurah di super market diluar bandara.
Beberapa jam kemudian akhirnya saya sampai dibandara sebelum jam keberangkatan.
Setelah chek in dan mengurusi beberapa administrasi di terminal 2F, saya langsung bergegas menuju ruang tunggu bersama penumpang yang lain.
Rencananya pesawat yang akan saya tumpangi akan transit di makassar untuk beberapa jam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21:26 ketika saya berada diruang tunggu malam itu. Saya bersyukur perhitungan saya tak meleset, karena sebelum take off saya sudah berada dibandara sebelumnya.
Sambil menunggu kedatangan pesawat yang akan saya tumpangi saya sengaja memasang earphone ditelinga, memutar lagu Leaving on a jetplane-nya John Denver dan membaca novel karya John O'farrel yang berjudul The best a man can get agar sedikit rileks menghadapi perpisahan dengan jakarta malam itu.
Beberapa jam kemudian terdengar bunyi dari pengeras suara diruang tunggu menginformasikan bahwa pesawat dengan nomor penerbangan sekian tujuan makassar-ternate akan segera berangkat.
Saya bergegas menutup buku yang sedang saya baca lalu masuk ke ruangan lain yang saya tak tahu namaya bersama dengan penumpang yang lain.
Beberapa saat setelah menunjukkan tiket dan berbagai tetek-bengek lainnya saya langsung menuju pesawat dengan hati yang gundah.
Dalam hati saya menggumam "akhirnya malam ini tiba juga, malam dimana semuanya harus dimulai dan berakhir bersamaan". Beberapa pramugari melemparkan senyuman sambil mengucapkan selamat datang pada kami yang baru masuk di pesawat. Segera setelah masuk pesawat saya mencari tempat duduk yang tertera sesuai di tiket saya. 10C, begitulah kira-kira tanda di tiket yang saya dapati pada tangan saya. Sambil mencari-cari tempat duduk itu saya mulai mematikan musik yang dari tadi saya ulang di lagu Leaving on a jetplane-nya John denver itu.
Ternyata tak sulit mencari tempat duduk berseri 10C itu. Saya langsung duduk setelah menemukannya dan mulai menaruh tas di atas kabin.
Sambil sesekali mengecek handphone, saya melihat ke luar jendela pesawat malam itu.
Ada semburat kekakuan yang tak bisa saya utarakan malam itu. Semuanya begitu bergegas malam itu. Rasanya sendu semakin berkelebatan di seisi kabin pesawat setelah pramugari menyuruh saya mematikan handphone karena pesawat akan segera mengudara sesegera mungkin malam itu.

Jauh sebelum malam itu, saya pernah berangan mempunyai pekerjaan diluar daerah yang jaraknya jauh dari rumah dan nanti ketika waktunya harus pulang kembali akan ada banyak orang yang menyambut saya dengan keriangan karena merasa kehilangan.
Pada akhirnya angan itu jadi nyata malam ini.
Setelah bertahun bertahan diluar daerah di Indonesia timur akhirnya saya pulang dengan membawa sekarung besar rindu yang disambut riang persis seperti apa yang saya bayangkan dulu. Dan memulainya lagi dengan perpisahan yang berakhir di bandara Soekarno-Hatta malam itu.
Saya merasa seperti seorang Gillian Forester yang harus meninggalkan Chris Matthews dari San Fransisco menuju New York dalam Novel Danielle Steel favorit saya malam itu. Begitu berat namun harus tetap dijalani dengan kepala tegap walau isi jantung begitu hancur amburadul seperti diremas-remas keras hingga otak jadi tak waras.

Rabu, 31 Agustus 2016

DI PENGHUJUNG AGUSTUS

Ini malam terakhir dibulan agustus. Saya sengaja membiarkannya terkesan merayap agar tak susah untuk saya ingat dihari depan nanti. Malam semakin larut, saya dan beberapa lembar buku yang dibiarkan berserakan begitu saja.
Sambil menahan kantuk sepulang beraktivitas saya selalu menyempatkan diri untuk setidaknya menulis beberapa hal tak penting seperti tulisan ini sebagai
pelipur lara juga sebagai ibadah passion saya jika suatu saat sindrom uring-uringan datang tiba-tiba.
Bulan ini bergegas begitu cepat. Hingga tak terasa semuanya berlalu begitu saja tanpa resistensi berarti akhir-akhir ini. Beberapa mimpi memang sempat terwujud dibulan ini. Namun ada pula mimpi yang tak perlu menemukan realisasinya dan terpaksa saya simpan rapi di rak-rak harapan berjejer dengan sengkarut argumen basi lainnya.
Saya sempat menghabiskan awal bulan ini di cipanas selama liburan beberapa waktu lalu. Mengunjungi beberapa kawan lama, bercerita tentang peta perjalanan dengan minuman baru dan tempat lama.
Tak banyak yang berubah dari cipanas, hanya beberapa tempat yang direnovasi dan seperti halnya destinasi wisata lainnya, cipanas semakin dipenuhi turis-domestik maupun asing
Bahkan di daerah tertentu malah saya dapati perubahan yang signifikan, menjamurnya toko-toko kebutuhan orang timur tengah, restoran-restoran dan banyak lagi arabisasi-arabisasi lainnya dicipanas baru-baru ini.
Saya tak ingin berkomentar lebih jauh perihal itu. Sudah menjadi rahasia umum jika cipanas memang surganya turis dari daerah timur tengah dan saya yakin beberapa tahun kedepan cipanas akan menjadi destinasi wisata paling ramah bagi turis asal timur tengah seperti halnya warung kaleng di cisarua sana. Lihat saja nanti !!
Setelah dua tahun lamanya saya tak pulang, banyak hal yang saya lewatkan dicipanas. Dari mulai scene yang agak meredup sampai band-band baru yang bermunculan bak jamur dimusim hujan-namun tetap dengan pemain-pemain lama.
Begitupun dengan kawan-kawan disana, semuanya tampak tak berubah. Dengan kebanalan rutinitas yang semakin hari makin menyebalkan saya tahu pasti kawan-kawan disana tak jauh berbeda dengan saya perihal aktivitas sehari-hari. Mencari nafkah demi terus menghidupi hidup dari pekerjaan yang sama menjemukannya disini.
Memang tak semua kawan disana bisa saya jumpai hanya dalam waktu singkat itu, ada beberapa kawan yang memang sangat sibuk sehingga kami hanya bisa berkabar via media sosial saja. Namun saya masih bersyukur kalian tetap dapat waras ditengah hiruk-pikuk dunia yang semakin gila ini.
Satu hal yang saya kagumi dari kalian adalah; kalian selalu tahu cara paling efektif untuk menjaga kewarasan ditengah segambreng problematika hidup dengan menikmati secangkir kopi hangat dimalam hari sambil bercerita tentang masa-masa dimana dulu kita pernah menjadi waras. Begitulah cara paling waras yang dulu sering kita lakukan untuk menjaga kewarasan.
Jujur saja saya sangat menikmati waktu singkat disana kemarin, walau ada beberapa hal yang sedikit membuat saya kecewa karena beberapa kawan sempat bersikap antipati terhadap perubahan yang saya alami selama ini.
Saya memang sudah memustuskan untuk berhenti di dunia musik sejak lama. Bukan hanya karena scene di cipanas yang sedikit monotone tapi lebih kepada pilihan personal yang melibatkan pengalaman personal pula. Ternyata setelah saya mendalami ilmu agama, musik memang bertolak belakang dengan agama yang saya anut. Sehingga pada akhirnya saya harus memilih satu diantaranya; melanjutkan bermain musik atau berusaha taat pada agama saya dengan konsekuensi yang sangat berat awalnya yaitu harus meninggalkan semua hingar-bingar dunia mosphit dan mulai mendalami agama. Bukan hanya itu, ada banyak sekali hal yang dulu sering saya lakukan ternyata kontradiktif dengan agama yang saya anut. Bermain musik, pacaran, merokok, minum khamr, nongkrong dan banyak hal lainnya. Walau dengan sedikit berat hati saya mulai meninggalkannya satu persatu sampai saat ini.
Tapi memang waktu cepat sekali berlalu. Sebulan lamanya tak terasa sehingga saya harus pulang kembali ke halmahera untuk beberapa tugas yang belum rampung saya buat totem.

Berteriak-teriak menyanyikan lagu tak karuan ditengah lautan manusia yang setengah mabuk menjadi ciri khas kita dimasa itu. Menghabiskan waktu hingga tengat malam dengan obrolan yang sebetulnya tak penting namun tetap intim adalah hal yang tak bisa saya dapatkan disini bersama kawan baru. Melakukan tour keliling kota tetangga dengan uang seadanya adalah hal yang sering saya rindukan sesekali. Patungan untuk mengganti simbal yang rusak akibat berdansa setengah mabuk menjadi hal yang membuat saya merasa bahagia jika mengingatnya hari-hari ini.
Namun semua itu kini hanya tinggal memori yang jika kita mau tinggal kita gali kembali setelah usang dimakan waktu berkali-kali.

Saya ingat beberapa hari setelah saya sampai dicipanas, saya dan beberapa kawan lama sengaja membuat janji untuk bertemu di sebuah tempat untuk sekedar menghabiskan waktu dengan bercerita dihadapan secangkir kopi hangat sebagai antitesa dari hiruk-pikuk kebanalan aktivitas kita selama ini.
Bercerita tentang semua hal yang dulu sering kita lakukan memang tak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Dari hal konyol seperti mabuk disiang bolong hingga yang paling tragis sekalipun seperti cerita tentang kepergian almarhum tebo yang mendadak menjadi pengiring dari perbincangan kita malam itu.
Ingatan tentang hari-hari waras itu memang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun, meski suatu hari nanti kita akan pikun dan mulai lupa akan satu sama lain tapi setidaknya lewat tulisan ini saya akan mencoba mengingatnya kembali sekuat ingatan saya suatu hari nanti.
Agustus memang bulan yang akan selalu saya ingat sampai kapanpun. Bukan hanya karena dibulan itu saya pertama kali pergi ke halmahera ini dua tahun silam tapi karena disana memang banyak sekali ingatan yang tak bisa saya tuliskan satu persatu bersama kalian dibulan ini beberapa hari lalu dan beberapa tahun lampau.
Malam semakin larut, waktunya saya mengakhiri tulisan pendek ini.
Besok akan ada banyak sekali pekerjaan yang menuntut keseriusan ditengah-tengah ingatan yang berkelebat tentang masa-masa bersama kalian disana.
Saya masih tetap berharap agar setiap hari dapat saya lewati dengan cepat agar suatu hari nanti saya dapat segera pulang dan bisa merampungkan pekerjaan-pekerjaan insidental kembali disana bersama kalian. Menghabiskan bercangkir-cangkir kopi dengan obrolan lama yang tak ada habisnya kita bahas.
Sebetulnya banyak sekali yang ingin saya utarakan disini namun apa daya tangan tak sampai. Selain waktu yang semakin sempit juga stamina saya yang agak mengendur. Tulisan yang dibuat tengah malam ini sudah saatnya saya akhiri.
Untuk bokir, kodok, golun, gayung, bule, ran, oceng, udeng, moeng, wisnu, eko, iduy, ardi, benjo, panji, opik, memey, eka, bando, ubed, bogel, cimon dan kalian yang tak bisa saya sebutkan satu persatu disini semoga Alloh tetap menjaga kalian dimanapun kalian berada.
Maaf telah merepotkan kalian selama ini.
Tetap berlawan dengan apapun yang kita punya hari ini.
Perjuangan belum berakhir, selama tirani masih subur di negeri ini, selama itu pula kita harus tetap waras.
Tetap semangat dalam menjalani hidup yang harus dihidupi ini.
Saya yakin suatu hari nanti kita akan berkumpul kembali dengan kegilaan yang berbeda namun tetap dengan secangkir kopi yang sama.
Salam juang dari sahabatmu yang terlupakan.

Bardung

Tobelo, halmahera utara 2016

Minggu, 21 Agustus 2016

Saya bingung cari judul buat tulisan ini

Awalnya tak terpikir untuk menulis tulisan ini sebelumnya, tapi karena satu dan lain hal saya pikir ada baiknya saya menuangkannya disini. Jika kamu pikir tulisan ini tak penting dan hanya menghabiskan waktumu, saya mohon untuk tak membacanya. . . . .

                             I
Saya bingung harus memulainya dari mana, karena mungkin sudah beberapa bulan terakhir saya tak pernah menulis lagi. Hingga akhirnya kaku berbias kalut menuntun saya memulainya kembali.
Jika boleh disebut kecewa mungkin saya kecewa. Jika boleh disebut marah mungkin saya marah. Tapi entah apa alasan saya harus marah berbarengan dengan kecewa ini. Tadi malam sebetulnya ada hal yang ingin saya sampaikan, beberapa point mungkin memang tak penting. Saya rela berlusuh-lusuh menyempatkan diri pergi ke sebuah konser musik-yang sebenarnya bertolak belakang dengan nurani saya- di Cianjur sepulang dari Bandung agar dapat bertemu denganmu. Bisa menghabiskan saat-saat terkahir saya dicipanas dengan orang yang tak biasa. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain sehingga kita tak dipertemukan malam itu.
Dengan sedikit mendramatisir keadaan saya pulang dengan rasa kecewa bergelayut di muka tadi malam. Berharap orang yang tak biasa itu bisa mengerti mengapa saya rela menyisihkan waktu ditengah hiruk-pikuk aktivitas saya yang tak penting ini.

Kalau boleh sedikit bercerita kenapa keadaannya menjadi sedikit rumit-bagi saya setidaknya-sekarang. Jujur saja beberapa tahun lalu saya tak pernah terpikir untuk cepat-cepat mempunyai perasaan seperti ini (saya enggan menyebutnya jatuh cinta). Ada beberapa hal yang sebetulnya sedang saya geluti beberapa tahun kebelakang sehingga perhatian saya sangat tersita pada hal-hal tersebut. Bukannya so heroik atau semacamnya tapi jujur saja sebetulnya saya sedang mendalami ilmu agama dan sedikit marxisme belakangan ini. Keadaanlah yang merubah saya seperti ini. Karena kebetulan saya tinggal di daerah timur yang refresifitas aparatnya terhadap rakyat jelata sangat massif dan brutal, membuat saya harus terus belajar manajemen konflik tentang peta konflik agraria, filsafat ilmu, antropologi budaya dan agama sekaligus.
Bayangkan saja hampir setiap pagi saya melihat pedagang yang dikejar-kejar oleh aparat karena dilarang berjualan. Harus rela disebut antek-antek ISIS hanya karena menjalankan sunnah Nabi. Belajar bagaimana penetrasi kapital bisa merubah pranata sosial-ekonomi masyarakat lewat hegemoni budaya yang mereka tanamkan dengan mekanisme pasar bebasnya. Kira-kira seperti itulah dinamika yang saya hadapi setiap hari disana sehingga belajar lebih kritis memandang lingkup kehidupan masyarakat jelata membuat perhatian saya terhadap buku-buku politik, agama, filsafat, ekonomi, sosial dan sains membuat saya lupa rasanya jatuh cinta seperti sekarang.
Dan entah dalam sebulan ini mungkin saya lalai terhadap tugas saya atau memang terlalu banyak waktu luang yang saya habiskan percuma sehingga keadaan membuat saya seperti ini. Harus punya perasaan aneh seperti ini lagi setelah selama 3-4 tahun terakhir saya tidak pernah merasaknnya lagi seperti padamu hari-hari ini.
Tapi ada mekanisme yang luput dari pandangan saya selama ini; bahwa manusia sebetulnya diciptakan berpasangan dan itu adalah hal ilahiah yang memang setiap manusia harus merasakannya-setidaknya sekali seumur hidup. Dan berumah tangga adalah sebuah fase yang tidak bisa terelakkan lagi sebagai pencapaian akhir dari entitas tertinggi atas apa yang sering orang sebut cinta. Rasanya aneh sekali bisa merasakannya kembali setelah bertahun-tahun hidup sendiri dan sedikit berjarak dengan perempuan bukan karena kehilangan hasrat tapi perhatian saya terlalu besar pada ide-ide politik revolusioner yang membuat energi saya terkuras habis untuk itu.

Lalu apa tujuan saya menulis esai pendek ini? Begini, saya tahu saya bukan orang yang punya rasa percaya diri tinggi sehingga bisa mengutarakan perasaan ini langsung padamu sehingga saya memutuskan untuk menuliskannya di blog pribadi saya sebagai arsip pribadi untuk dikenang juga marka pengingat bahwa saya pernah jatuh cinta pada perempuan luar biasa sepertimu. Mungkin bagian ini terdengar berlebihan (atau mungkin semua bagian esai ini terdengar berlebihan?).
Sebelum saya benar-benar pergi dan tak bisa lagi bersua denganmu ada beberapa hal yang ingin saya utarakan sebagai nasihat-walau saya tak yakin ini adalah sebuah nasihat.
Pertama saya minta maaf karena sudah lancang mempunyai perasaan ini. Saya pun tak mengerti jika harus dijelaskan bagaimana awalnya bisa seperti ini, karena semuanya begitu alamiah mengalir tanpa saya sadari sebelumnya bisa tiba-tiba muncul tanpa saya kehendaki. Dan saya tak perlu jawaban apapun untuk semuanya. Karena tak mungkin jika kita kembali pada perbuatan jahiliyah seperti dahulu untuk melabuhkan perasaan ini sebagai pembuktian dari semuanya. Jadi saat ini, saya hanya sedang mengintenskan berdoa agar kita diberi hasil akhir yang baik oleh Tuhan. Disamping itu, saya juga sedang memperbaiki diri agar kelak jika kita memang berjodoh saya tak ingin jadi imam yang gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Saya harap kamu pun begitu.
Kedua, jika Tuhan tak mempertemukan kita lagi, saya harap akan ada orang yang memang benar-benar mencintaimu  dengan ikhlas dan memandang kekuranganmu sebagai kekuatan dan kelebihanmu sebagai alasan untuk berlawan. Dan tentunya bisa membuatmu bahagia dunia-akhirat.
Ketiga (eh banyak amat ya? Hehehe) jika memang kita tak berjodoh, saya ingin kamu dapat memilih lelaki yang memang mengerti agama. Karena zaman sekarang, jika agamanya saja dia abaikan bagaimana bisa berumah tangga ditengah badai fitnah seperti sekarang.
Dan terakhir sebelum mengakhiri tulisan ini, saya harap tak ada yang berubah diantara kita setelah kamu membacanya. Tetap berinteraksi seperti biasa seperlunya dengan batasan-batasan syar'i tentunya. Jangan berpikir bahwa dengan saya menulis tulisan ini membuatmu berpikiran saya ingin menjauh karena ketidakidealan sebelumnya.
Asal kamu tahu, saya benar-benar butuh orang seperti kamu untuk tetap bertahan melawan para tiran; yang sudah barang tentu itu bukan tugas yang mudah untuk orang seperti saya.
Dan saya harap kamu mengerti.
Ingat anekdot ini; setiap lelaki yang hebat pasti ada wanita kuat dibelakangnya.
Akhirul kalam.

I love you with every nerves in my hand :)

Cipanas, 23 agustus 2016

Ramadhan Yang Perlu Diingat