Senin, 19 September 2016

BAHAGIA ITU RELATIF; Penyangkalan

Bagiku bahagia itu tak mudah. Bayangkan !! Kau harus rela menyisihkan uang hasil kerjamu selama berbulan lalu menyimpannya serapat mungkin agar kau tak tergoda untuk membelanjakannya untuk hal lain yang sebetulnya sama pentingnya dengan buku.
Selain harus memilah buku apa yang harus kau beli dengan harga yang cocok dengan sakumu, kau juga harus rela menahan godaan lapar ditengah malam ketika membaca buku karena uang makanmu sudah sedemikian rupa dipangkas untuk bisa membeli buku baru yang kau butuhkan.
Kau pernah bilang bahagia itu sederhana, tapi untukku tidak.
Kau bilang bahagia itu mudah, hanya dengan duduk diteras rumah, melamun dihadapan secangkir teh hangat dan makanan ringan sambil sesekali mengomentari hidup orang lewat sosial media saja. Tapi untukku tidak.
Bahagia itu relatif ! Tafsirnya memang mudah, namun realisasinya yang susah.
Kau bilang bahagia itu gampang. Tinggal duduk didepan televisi, bercengkrama dengan keluarga ihwal telenovela mana yang cocok dengan moodmu hari ini, sekali lagi untukku tidak.
Bahagia itu relatif. Kau harus belajar bahagia atau aku yang harus belajar bahagia?
Aku lapar kau suruh bahagia, aku terkantuk kau suruh bahagia, aku lemas kau suruh bahagia.
Satu lagi, bagiku bahagia iru relatif. Menadah air malam hari untuk mandi esok pagi karena esok pagi air dari perusahaan daerah tak selancar malam hari, kau sebut itu bahagia?
Bagiku bahagia itu relatif. Bisa saja aku kenyang namun tak kunjung bahagia karena tak ada buku baru tahun ini.
Jadi bahagia itu relatif !

Sabtu, 17 September 2016

AKU DAN IGAUAN-MU

Aku bertanya
Kau mengigau
Kau balik bertanya
Aku berguarau

Dimana akhir percakapan kita sebenarnya?
"Dari awal kau bicara" tukasnya
Kau tanya tentang aku,
Kujawab aku itu kamu

Kutanya "kau mengigau?"
Kau jawab "tidak tahu"
Kau tanya "aku mengigau?"
Kujawab "aku ini kau"

Dibibir pantai Indonesia timur, 2016

Jumat, 16 September 2016

Sajak untuk Surti (2)

Semua tetap sama seperti dulu
Aku yang malu-malu
Dalam diam memendam rindu
Juga tetap ingin tahu tentang kabarmu

Tapi sekarang aku punya cara baru
Cara baru mengutarakan rindu
Rindu yang sudah jadi bebal dan batu
Diam-diam memuisikanmu

Kukirim sajak dari ratusan mil jauhnya
Berharap angin menggelinding mengejawantahkannya
Atau laut sudi mengantarkannya kedepan rumahmu
Supaya rindu tak jadi bebal dan batu

Surti, jika nanti malam kau memimpikanku

Itu tanda dari sajak ku yang telah sampai didepan rumahmu


Dibibir pantai Indonesia timur 2016


MEMBACA BUKU DAN KESUNYIAN

MEMBACA BUKU

Siang itu saya bergegas menuju kantor pos untuk menjemput kiriman buku dari seorang teman di jogja. Ditengah terik matahari, mega yang menyeringai dan rasa penasaran akut saya berjalan dengan harapan buku yang saya pesan telah sampai dengan selamat. Karena sudah hampir 2 minggu buku pesanan saya itu tak jua datang. Siang itu sengaja saya memberanikan diri datang ke kantor pos. Namun kecewa alang-kepalang ternyata kantor pos tutup hari itu.
Dengan berjuta kecewa saya pulang dan tak sempat merapikan wajah yang kusut akibat perjalanan yang saya tempuh dari rumah ke kantor pos yang lumayan sangat jauh itu.
Beberapa minggu lalu saya memesan buku berjudul Aku, buku dan sepotong sajak cinta karya penulis favorit saya Muhidin M Dahlan. Besar harapan saya agar buku itu dapat langsung saya santap hari itu. Namun takdir berkata lain. Mungkin ada beberapa masalah teknis sehingga buku yang saya pesan belum sampai, saya ber-husnudzon saja.

Beberapa tahun lalu, saya sama sekali tak suka membaca. Walau banyak buku yang saya punya dan ada beberapa hadiah dari orang-orang tertentu. Namun membaca buku adalah hal yang sangat jarang saya lakukan waktu itu. Bukan hanya karena membaca adalah hal membosankan, juga karena hobi saya waktu itu masih lebih menyenangkan ketimbang membaca buku; bermain musik.
Namun perlahan ketika keadaan menyeret saya pada suatu kondisi dimana musik menjadi sangat membosankan dan kebutuhan terhadap informasi sangat mendesak sehingga saya terpaksa harus rajin membaca buku sebagai penghilang kebosanan, pelipur lara juga alasan berlawan.
Karena membaca adalah batu penjuru dari edukasi, dan edukasi adalah hal paling vital dalam aktivisme maka dari itu saya rela mengahabiskan waktu hanya untuk membaca.
Selain menghabiskan waktu, membaca buku juga kadang memiskinkan. Maklum lah saya hanya seorang buruh upahan yang penghasilannya untuk makanpun masih pas-pasan. Jadi saya harus rela membagi uang hasil kerjaan saya dengan ratusan kebutuhan lainnya. Menabungnya dengan harapan jika ada buku yang diinginkan nanti saya bisa langsung memesannya.
Juga ada alasan lain yang membuat saya jadi sedikit gemar membaca akhir-akhir ini.
Karena handphone yang saya punya waktu itu tak memungkinkan mengakses berbagai informasi dengan lancar, makanya saya hanya bisa mencari alternatif informasi dengan bentuk tulisan. Harus dimaklumi sekali lagi handphone saya tak bisa dengan cepat mengakses video dan berbagai audio visual lainnya sedangkan kebutuhan akan ilmu dan informasi membuat hasrat keingin-tahuan saya semakin tinggi. Jadi alternatif terbaik waktu itu hanyalah dengan membaca.
Akhirnya kecintaan saya terhadap membaca tumbuh sedikit demi sedikit seperti layaknya ABG yang baru jatuh cinta pada lawan jenisnya.

KESUNYIAN

Saya memang orang yang jarang bersosial dengan banyak orang. Menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol ngalor-ngidul tentang hal yang tak jelas membuat saya tak nyaman.
Maka dari itu saya memilih berjarak dengan khlayak agar terhindar dari sindrom-sindrom obrolan basa-basi yang tak jelas juntrungnya.
Saya lebih memilih mengahabiskan waktu sendirian dengan membaca buku atau artikel-artikel pendek sebagai pengisi waktu senggang.
Begitu pun di halmahera ini, sepulang dari bekerja saya lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku sendirian ditengah keheningan malam agar suasana hati kembali memancarkan rona dari keterasingan personal seperti lazimnya seorang jomblo lainnya.
Rasanya ada korelasi yang selaras antara kesunyian dan membaca buku. Dua hal tersebut sepertinya sudah ditakdirkan untuk tetap bertemu.
Bagi orang-orang yang menyandang penyakit kesepian akut seperti saya, membaca ditengah keheningan malam adalah hal yang paling membahagiakan ditengah-tengah dunia yang menyedihkan ini.
Saya rasa itulah alasan kenapa banyak dari para jomblo sejati seperti Tan Malaka dan William Sheakspear bisa membuat banyak buku; mereka lebih menyukai kesunyian dan membaca buku dariapada harus mengahabiskan waktu dengan lawan jenis yang tak ada gunanya.
Membaca ditengah malam sepulang bekerja memang bukan hal mudah, selain harus menahan rasa kantuk yang menggila diujung pelupuk mata juga waktu-waktu seperti itu sangat sulit saya dapatkan dimana kita harus berselaras dengan heningnya malam dan tetap berusaha fokus ditengah ingatan-ingatan tentang pekerjaan yang menuntut keseriusan esok harinya.
Tapi beruntunglah karena saya adalah orang yang sedikit dapat bertahan walau hanya beberapa jam dengan membaca buku ditengah heningnya malam seperti itu.
Hingga sekarang saya tak tahu akan berakhir sampai kapan hobi saya ini. Mungkin 2 sampai 3 tahun kedepan akan ada hobi baru yang menggerus hobi lama saya ini. Atau mungkin akan tetap bertahan walau sedikit demi sedikit harga buku sudah mulai melambung akhir-akhir ini dan saya akan segera mengakhirinya lalu mencari hobi yang sedikit murahan agar dapat tetap membunuh kebosanan dan memiliki passion ditengah dunia yang hiruk-pikuk ini. Entahlah . . . . Hanya Tuhan yang tahu.

Kamis, 15 September 2016

Bukan Resensi buku: Going Home-tambatan hati

Jika tidak salah saya sudah 2 kali membaca novel lawas ini dan tak pernah merasa bosan.
Awalnya hanya iseng pengisi waktu saja. Tapi setelah hanyut terbawa plot, ternyata buku setebal 409 halaman ini mampu membuat saya menangis dan tertawa sendiri.
Seperti semua novel Danielle Steel lainnya, Going Home bercerita tentang seorang wanita karir bernama Gillian Forester yang hidup menjanda bersama seorang anaknya bernama Samantha ditengah hiruk-pikuk kota New York yang liar dan gila.
Lika-liku asmara yang dibumbui dengan roman ala sastrawan perancis yang romantis namun dengan kemasan bahasa yang lugas dan mudah dicerna pembaca awam seperti saya membuat novel ini seakan membawa kita berada ditengah-tengah konflik yang dialami oleh si Gillian.
Alur ceritanya yang sedikit kompleks awalnya membuat saya merasa bosan.
Namun ditengah-tengah cerita yang mulai monotone tiba-tiba muncul sedikit dinamika yang menurut saya aneh namun malah semakin membuat novel ini tetap harus dibaca.
Pemetaan karakter yang terperikan lewat plot yang mudah ini lah Danielle Steel membuat saya jatuh cinta berkali-kali pada novel ini.
Kita bisa langsung tahu karakter seperti apa yang akan muncul mengisi alur ceritanya hanya dengan sekali membaca. Maklum lah saya adalah salah satu orang yang sering gagal fokus. Jadi novel ini cocok sekali untuk pembaca awam yang kurang suka membaca novel-novel serius seperti penulis novel fiksi zaman sekarang.
Dengan setting yang sederhana disebuah kota kecil di California dan beberapa tempat di New York semakin membuat novel ini wajib dibaca untuk kalian yang suka seri novela.
Namun saya sempat merasa kesal karena Gillian harus bertemu dengan pria brengsek seperti Chris Matthews dalam novel ini. Chris yang brengsek namun romantis dengan caranya sendiri digambarkan oleh Danielle lewat gestur yang berbeda dari novel-novelnya yang lain. Dia sukses membuat karakter Chris menjadi seorang tokoh protagonis dan antagonis secara bersamaan. Seperti malaikat-setan dalam satu tubuh.
Ada banyak kejadian tak terduga di dalamnya yang membuat saya lagi-lagi harus merasakan memungut tisue banyak-banyak. Untuk sebuah novel serapan bahasa asing, novel ini tak banyak menyajikan bahasa yang rumit. Tak ada metafor didalamnya untuk membuat kagum para pembaca. Alurnya juga cair mudah ditangkap oleh pembaca awam manapun, sehingga pantas buat saya mudah terhanyut oleh novel ini walau sudah berkali membacanya.
Rekomendasi sekali untuk kalian yang bosan dengan novel-novel kontemporer hari ini yang melulu hanya menceritakan roman ala remaja ingusan yang ujung ceritanya sudah dapat dipastikan.

Senin, 12 September 2016

Sajak untuk Surti

Sudah genap berbulan kita tak bersua.
Aku selalu ingin tahu apa kabarmu disana.
Aku juga selalu ingin tanyakan padamu bagaimana hari-harimu berjalan disana tanpaku.
Apa saja yang kamu lewati setiap hari dikantor tempatmu bekerja setiap hari.
Juga ingin kutanyakan buku apa yang sedang kamu baca akhir-akhir ini.
Dan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lainnya dibenakku yang setiap hari menumpuk tak terjawab.
Seandainya Tuhan itu tak ada, inginku tanyakan  apa kabarmu disana?
Tapi aku tahu diri, Tuhan itu ada dan sedang mengawasi kita.
Sehingga alangkah lebih baik jika aku melipat setiap tanyaku rapi-rapi lalu kuselipkan di setiap doaku dalam sujudku kepada-Nya.

Kamu tahu apa saja doa yang sering aku panjatkan dalam setiap solatku untukmu Surti?
Asal kamu tahu, aku selalu meminta agar Dia menjagamu dimanapun, kapanpun dan dari apapun yang berbahaya bagimu.
Selalu memintakan untukmu keberkahan, kelancaran dan kemudahan dalam setiap langkahmu meniti jalan-Nya.
Nampaknya doaku terlalu berlebihan, tapi hanya itu yang aku punya.
Aku tak punya keberanian untuk sekedar menanyakan kabarmu di sosial media. Padahal kontakmu aku punya.
Sesekali akupun selalu melihat status-statusmu.
Dan berharap ada satu yang kau tulis untukku.
Tapi aku tak kecewa kalaupun itu tak ada, mungkin kau lebih suka menyebutku dalam doamu dari pada dalam statusmu. Aku ber-husnudzon saja.

Oh iya apa kabar bapak-ibumu Surti?
Kuharap mereka baik-baik saja.
Mereka juga selalu aku doakan seperti aku mendoakan ibu-bapakku, namun tak sesering seperti aku mendoakanmu, Surti.

Maafkan aku Surti, aku tak pandai bersajak.
Sehingga banyak dari rima-rima ini berhambur tak teratur.
Ini hanya rangkaian kalimat-kalimat yang kususun dari puing rinduku padamu.
Jadi sekali lagi maafkan aku Surti.

Aku hanya tak bisa melihat kanvas kosong dan pena yang berkarat.
Lalu ku gabungkan jadi satu sajak hingga tamat.
Agar apa? Agar kamu tahu bahwa disini, ditempat asing ini ada orang hina yang selalu membasahi bibirnya dengan doa-doa lirih untukmu. Ya hanya untukmu . . .

Kamu tak perlu membalas sajak ini, membacanya pun adalah karunia bagiku.
Bahwa selama ini, di diamku ada doa yang berirama untukmu.

Dibibir pantai Indonesia Timur, 2016

Senin, 05 September 2016

Sebuah catatan pendek tentang perjalanan menuju halmahera utara (1)

Hati saya terlalu sensitif mendengar kata perpisahan, mungkin karena sudah terlalu banyak saya kehilangan dan ditinggalkan . . .

Hari itu tanggal 23 agustus 2016 sengaja sejak pagi saya mulai mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa. Dari obat-obatan hingga pakaian dan buku tak lupa saya masukan ke dalam koper. Saya sengaja membiarkannya merayap begitu saja agar tak susah saya ingat. Karena memang waktu saya tinggal beberapa jam lagi di cipanas pagi itu. Sore harinya saya harus benar-benar berangkat menuju bandara dijakarta karena jadwal penerbangan malam itu dipercepat satu jam menjadi jam 23:01.
Dengan waktu yang sedikit sempit itu saya sempat bertemu beberapa karib guna beremeh-temeh dihadapan beberapa gelas minuman agar menjadi marka jika suatu hari nanti kita memang tak akan pernah bertemu lagi.
Berbincang-bincang ringan tentang hal apa saja yang akan dilakukan akhir tahun ini tanpa saya dan banyak lagi obrolan menggantung lainnya yang tak sempat rampung kami selesaikan sore itu.
Tepat pukul 16:31 ba'da solat ashar saya mengemasi barang yang akan dibawa dan sengaja beberapa karib mengantar saya menuju bis yang akan saya tumpangi ke jakarta.
Sempat beberapa menit saya berpamitan dengan orang tua saya untuk terakhir kali sore itu.
Sore terakhir saya dicipanas, memang berat rasanya harus meninggalkan cipanas lagi. Walau keadaannya jauh berbeda dari 2 tahun lalu dimana semuanya begitu abu-abu dari sore itu.
Tak lama bis yang saya tumpangi bergegas perlahan meninggalkan cipanas menuju jakarta.
Rasanya ada yang tertinggal disana, tapi entah apa saya pun tak pernah tahu dan tak ingin menjawabnya jika itu memang benar-benar pertanyaan yang harus dijawab.
Beberapa jam kemudian saya tiba di terminal kampung rambutan di daerah jakarta timur. Tak lama saya singgah, saya langsung mencari tumpangan menuju bandara karena waktu itu malam sudah mulai turun menggantikan sore.
Setelah terlibat percakapan alot dengan supir yang akan membawa saya ke bandara soal harga ongkos yang disepakati, akhirnya kami bersepakat dan segera menuju bandara setelah singgah beberapa menit di sebuah super market untuk membeli beberapa makanan ringan. Karena saya tahu dibandara harga makanan ringan tak akan semurah di super market diluar bandara.
Beberapa jam kemudian akhirnya saya sampai dibandara sebelum jam keberangkatan.
Setelah chek in dan mengurusi beberapa administrasi di terminal 2F, saya langsung bergegas menuju ruang tunggu bersama penumpang yang lain.
Rencananya pesawat yang akan saya tumpangi akan transit di makassar untuk beberapa jam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21:26 ketika saya berada diruang tunggu malam itu. Saya bersyukur perhitungan saya tak meleset, karena sebelum take off saya sudah berada dibandara sebelumnya.
Sambil menunggu kedatangan pesawat yang akan saya tumpangi saya sengaja memasang earphone ditelinga, memutar lagu Leaving on a jetplane-nya John Denver dan membaca novel karya John O'farrel yang berjudul The best a man can get agar sedikit rileks menghadapi perpisahan dengan jakarta malam itu.
Beberapa jam kemudian terdengar bunyi dari pengeras suara diruang tunggu menginformasikan bahwa pesawat dengan nomor penerbangan sekian tujuan makassar-ternate akan segera berangkat.
Saya bergegas menutup buku yang sedang saya baca lalu masuk ke ruangan lain yang saya tak tahu namaya bersama dengan penumpang yang lain.
Beberapa saat setelah menunjukkan tiket dan berbagai tetek-bengek lainnya saya langsung menuju pesawat dengan hati yang gundah.
Dalam hati saya menggumam "akhirnya malam ini tiba juga, malam dimana semuanya harus dimulai dan berakhir bersamaan". Beberapa pramugari melemparkan senyuman sambil mengucapkan selamat datang pada kami yang baru masuk di pesawat. Segera setelah masuk pesawat saya mencari tempat duduk yang tertera sesuai di tiket saya. 10C, begitulah kira-kira tanda di tiket yang saya dapati pada tangan saya. Sambil mencari-cari tempat duduk itu saya mulai mematikan musik yang dari tadi saya ulang di lagu Leaving on a jetplane-nya John denver itu.
Ternyata tak sulit mencari tempat duduk berseri 10C itu. Saya langsung duduk setelah menemukannya dan mulai menaruh tas di atas kabin.
Sambil sesekali mengecek handphone, saya melihat ke luar jendela pesawat malam itu.
Ada semburat kekakuan yang tak bisa saya utarakan malam itu. Semuanya begitu bergegas malam itu. Rasanya sendu semakin berkelebatan di seisi kabin pesawat setelah pramugari menyuruh saya mematikan handphone karena pesawat akan segera mengudara sesegera mungkin malam itu.

Jauh sebelum malam itu, saya pernah berangan mempunyai pekerjaan diluar daerah yang jaraknya jauh dari rumah dan nanti ketika waktunya harus pulang kembali akan ada banyak orang yang menyambut saya dengan keriangan karena merasa kehilangan.
Pada akhirnya angan itu jadi nyata malam ini.
Setelah bertahun bertahan diluar daerah di Indonesia timur akhirnya saya pulang dengan membawa sekarung besar rindu yang disambut riang persis seperti apa yang saya bayangkan dulu. Dan memulainya lagi dengan perpisahan yang berakhir di bandara Soekarno-Hatta malam itu.
Saya merasa seperti seorang Gillian Forester yang harus meninggalkan Chris Matthews dari San Fransisco menuju New York dalam Novel Danielle Steel favorit saya malam itu. Begitu berat namun harus tetap dijalani dengan kepala tegap walau isi jantung begitu hancur amburadul seperti diremas-remas keras hingga otak jadi tak waras.

Ramadhan Yang Perlu Diingat