Minggu, 11 Desember 2016

Bukan resensi buku: Jomblo Revolusioner

Judul: Jomblo Revolusioner
Penulis: Amrullah AM
Penerbit: Epistemic
Tahun terbit: September 2016
ISBN: 602-69503-3-8

Sedikit sinopsis dari buku ini:
"Jomblo Revolusioner berisi tentang semangat pergerakan, kisah unik dibalik rencana demonstrasi, hingga titik sunyi seorang jomblo yang jarang diketahui. Kita tahu, jomblo selalu identik dengan ratapan sedih dan kegagalan. Namun pada buku ini tak ada kisah cengeng semacam itu. Jomblo tidak dimaknai secara syariat sebagai kesendirian. Namun, dijabarkan secara luas sebagai hakikat kebebasan.
Secara umum, buku ini dibagi menjadi tiga bagian prasasti perjuangan. Itu meliputi bagian pertama, kedua dan ketiga. Bagian pertama berjudul Catatan Jomblo, berisi 19 kisah menarik yang menarik yang dikemas dalam sebuah catatan. Bagian kedua berjudul Secarik Pesan, berisi 12 surat kaleng tentang kegundahan hati aktivis pergerakan. Dan pada bagian ketiga, terdapat 6 permenungan yang dikemas dalam sebuah judul Semacam Renungan"

Sebelum saya ceritakan tentang isi buku ini, ada baiknya saya perkenalkan dahulu siapa penulis dibalik buku ini untuk yang belum tahu. Amrullah AM atau sering disapa Aam ini adalah seorang aktivis asal Tuban Jawa Timur, beliau adalah pengelola sekaligus pengurus perpustakaan Rumah Baca Bijaksana di Tuban. Pernah menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan Universitas Dr. Soetomo Surabaya.
Karena buku ini ditulis oleh seorang aktivis, tak pelak isi buku ini banyak berkisah tentang pergulatan seorang aktivis semasa penulis menjadi mahasiswa atau setelah lulus. Seperti kata penulis, ada sebagian dari tulisan dalam buku ini yang diambil dari blog pribadi si penulis yang sebelumnya pernah diunggah ke blog pribadinya. Didalamnya ada campuran jenis tulisan. Ada esai, cerita dan ada juga features. Ada sebuah esai yang membuat saya tersenyum sekaligus menangis di dalamnya. Esai itu berjudul "Biarkan mereka mati saja". Esai satir yang dibalut dengan bahasa yang njilemt namun tetap tak mengurangi kerenyahan ceritanya. Esai itu bercerita kurang lebih tentang penderitaan rakyat Indonesia yang sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di negeri yang dalam bahasa si penulis ijo royo-royo ini. Lalu ada ada lagi esai yang berjudul "Leba(y)ran" yang menggelitik sekaligus sebuah sindiran buat saya. Dimana esai itu bercerita tentang kebiasaan mengunggah foto di media sosial (termasuk kebiasaan memfoto makanan sebelum di makan lalu diunggah ke media sosial) yang sepertinya adalah kebiasaan kebanyakan anak muda hari ini. Lalu ada cerita tentang tiga serangkai Bari, Agus dan Ndemo yang ketiganya sudah meninggal ketika penulis menulis cerita tentang mereka bertiga akibat kecelakaan.
Ada banyak sekali cerita yang menarik dari buku ini. Beberapa telah saya ulas diatas. Kawan-kawan akan serasa diajak menyelami dunia aktivisme yang sunyi dan menggairahkan. Buku setebal 139 halaman ini wajib dibaca bagi kawan-kawan yang butuh referensi bacaan yang ringan namun dengan isi yang padat dan berkualitas.

Sabtu, 10 Desember 2016

Bukan resensi buku: Down and out in paris and london

Judul: Terbenam dan tersingkir di paris dan london
Penulis: George Orwell
Penerbit: Oak
Tahun terbit: 2015
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-60272536-0-5

Siapa yang tidak tahu George Orwell, sastrawan asal Inggris yang terkenal lewat novel klasik fenomenalnya yang berjudul Animal Farm. Selain Animal Farm, Orwell juga terkenal karena menulis novel "1984" yang tak kalah fenomenal dari Animal Farm. Walau banyak novel lain yang menurut saya juga tak kalah menarik dari dua novel diatas seperti salah satunya "Down and out in paris and london" yang sedang saya bahas ini.
Novel ini disadur dari pengalaman hidup Orwell ketika hidup miskin di Paris dan London setelah memutuskan berhenti menjadi polisi imperial Inggris di Burma tanpa persetujuan keluarganya. Novel yang syarat akan nilai-nilai moral dan agak sedikit satir ini cocok kiranya jadi whislist kawan-kawan. Kita akan diajak berkelana jauh ke paris dan london pada tahun-tahun 1930-an dengan berbagai dinamikanya. Di paris Orwell berteman dekat dengan seorang mantan tentara Rusia yang juga hidup miskin sepertinya. Boris, dia bertubuh tegap layaknya tentara pada umumnya adalah sahabat setia Orwell ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup di paris. Mereka rela berbagi ruang meski hidup mereka sangat miskin. Di london, Orwell bertemu dengan Paddy. Seorang gelandangan yang menjadi sahabat setia ketika menghadapi hari-hari tanpa pekerjaan di london. Ada Bozo, seorang teman Paddy yang bekerja sebagai pelukis jalanan atau screever dalam bahasa mereka. Seorang seniman ulung yang menurut Orwell dia tak pantas menjadi tunawisma karena kecerdasan intelektual yang dia miliki berbeda dari para gelandangan lain. Bozo juga menyimpan beberapa karya sastra terkenal yang tak semua gelandangan mempunyai passion seperti dirinya dalam hal seni. Dia mengajarkan banyak hal pada Orwell dan membuat Orwell kagum padanya. Walau begitu, mereka kadung di cap sebagai gelandangan monster yang dalam citra masyarakat adalah sebuah penyakit sosial yang akut. Namun dimata Orwell, gelandangan tidak melulu bercerita tentang mereka yang suka mencuri, pemerkosa, pemabuk dan cap buruk lainnya. Gelandangan dimata Orwell adalah seperti sebuah mobil yang berjalan di sisi kiri jalan, dia ada karena sebuah peraturan konyol. Disini yang membuat saya hanyut dalam plot novel ini. Sebuah pesan moral yang tak banyak penulis se-zaman Orwell tampilkan ke permukaan.
Kawan-kawan akan terenyuh sambil sesekali bertanya dalam hati "kok ada orang yang bisa hidup semiskin ini?". Harus berpindah dari satu Lodging House satu ke Lodging House lainnya dengan uang sewa yang kadang berebutan dengan uang tembakau, roti dan teh. Jangan pikirkan bagaimana Orwell hidup dengan seorang pendamping. Bisa makan saja sudah cukup di syukuri ketika hidup tanpa pekerjaan seperti itu.
Dan menariknya, Orwell selalu menyelipkan sebuah komentar-komentar dalam setiap bab-nya sebagai "pemanis" dalam novel ini. Berbeda dengan novel-novel zaman sekarang yang kebanyakan lebih mengedepankan konflik-konflik internal dalam novel untuk membuat pembaca terhanyut, namun novel ini berbeda. Orwell seperti sedang berkhutbah dalam novel ini dengan berbagai macam pesan moralnya namun dengan gaya sastra yang magis. Sehingga kita seperti sedang tak dikhotbahi ketika membacanya.
Selamat membaca !

Rabu, 07 Desember 2016

BACK TO RADIO

Di medio 2003-2005 ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, tape adalah barang yang wajib ada disamping bantal dan guling. Sebelum Steve Jobs terkenal dengan iPhone-nya sekarang, radio adalah saluran alternatif terbaik untuk mencari informasi. Sudah lama kebiasaan itu saya tinggalkan karena sudah termasuk kegiatan kuno yang banyak tergantikan oleh perubahan zaman dan modernitas yang tak bisa dibendung lagi lewat smartphone-nya. Walau di smartphone ada fitur radio, namun rasanya aneh jika mendengarkan radio lewat smartphone. Apalagi smartphone bisa lebih lentur dalam mencari informasi dengan mengakses via google ketimbang lewat radio. Beberapa malam terakhir entah saya kesambet setan mana, saya iseng membuka fitur radio lagi dan mencoba mencari frekuensi yang cocok dengan selera saya. Awalnya aneh. Ada rona yang tak biasa di seisi ruangan kamar saya ketika radio mulai membahana disana. Perlahan namun pasti, saya mulai menikmati setiap detik momen itu. Frekuensi radio saya hentikan di chanel MORA FM. Chanel radio yang hingga saat ini sering diputar oleh kakek saya itu mengingatkan saya kembali pada suara khas sang penyiar yang lebih mirip monolog ketimbang siaran radio. Isinya tak lebih dari berita nasional dan domestik belaka. Namun cukup membuat nostalgia itu mengharu biru di seisi ruangan. Saya putar kembali ke chanel yang lain. Saya temui chanel radio yang sedang memutar lagu Peter Pan (yang sekarang menjadi Noah). Nostalgia itu terasa sempurna dengan alunan lagu "Menghapus Jejakmu". Dua nostalgia yang membuat saya memutar memori kembali ke tahun 2008-an yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Saya putar lagi ke chanel yang lain. Saya dapati Wayang Golek sedang mengudara. Ingatan saya melayang kembali ke tahun 2010-an yang lalu. Di tahun itu saya terbiasa menghabiskan waktu bermain catur malam hari di pos kamling sambil mendengarkan Wayang Golek mengudara bersama seorang sahabat. Rasanya nostalgia itu tak hanya berakhir sampai disini. Banyak hal yang membuat saya ingat kembali tentang banyak hal dari sebuah radio. Mungkin kebiasaan ini akan saya hidupkan kembali. Mendengarkan radio sambil membaca buku lalu ditemani kopi hangat rasanya adalah pilihan paling logis ketimbang harus membuka akun-akun media sosial yang tak ada gunanya. Selain itu, kegiatan ini tak membutuhkan biaya terlalu banyak. Saya sarankan kepada kawan-kawan agar mencobanya kembali agar ingatan kita terawat tentang era keemasan Radio yang hari-hari ini sudah banyak ditinggalkan anak muda kebanyakan.

Ramadhan Yang Perlu Diingat