Kamis, 27 Desember 2018

Tentang Pengalaman Menjadi Seorang Pramusaji (1)

Pekerjaan ini sudah saya lakoni hampir 6 bulan lamanya. Disebuah kafe yang lumayan mentereng namanya walau baru buka beberapa waktu lalu ini, pertama kali saya menjadi seorang pramusaji. Bekerja dipelayanan publik bukan hal yang asing buat saya. Berkali-kali saya terpaksa bekerja dengan kewajiban beririsan dengan khalayak umum itu. Kenapa saya bilang terpaksa? Bisa dibilang kemampuan berbicara didepan umum saya sangat payah. Namun saya tak menemukan bakat lain dalam diri saya selain harus menjadi pekerja upahan yang memaksa saya beririsan dengan banyak orang seperti sekarang. Saya tak bersyukur juga tak menyesal menjalani pekerjaan ini. Dalam kamus saya, menjadi pramusaji atau pekerjaan lainnya hanyalah peran yang disediakan sistem bagi saya. Jadi cukup saya jalani saja. Walau konsekuensinya lumayan harus menyita waktu lebih dari pekerjaan saya yang lain.
Pekerjaan ini pertama kali saya dapatkan dari seorang kawan lama yang sudah lebih awal terdaftar sebagai karyawan dikafe ini, lantas dia mengajak saya yang kala itu masih tanpa pekerjaan.
Soal upah, tak ada yang bisa saya ceritakan secara spesifik. Hampir mayoritas pekerjaan dikabupaten saya, semuanya bergaji tak kurang dari gaji saya. Kecuali buruh pabrik modern, gajinya lebih mensejahterkan ketimbang menjadi paramusaji. Maka dari itu banyak orang bermimpi bekerja dipabrik ketimbang jadi pramusaji seperti saya. Karena gaji yang kecil itu pula, saya sering berdebat dengan pacar saya. Dia yang ngotot memaksa saya mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar dari pekerjaan saya sekarang, saya yang malas harus berkompetisi dengan ribuan orang lain diluar sana untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mensejahterkan. Entah saya yang boros, atau mungkin ia adalah prototipe calon istri zaman milenial yang panutannya adalah artis yang berpenghasilan mentereng, sehingga dengan gaji saya yang sekarang ia pikir tak akan mencukupi hidupnya kelak. Ah sudahlah, saya kadung sakit hati jika harus membahas ihwal hal brengsek ini.

Ihwal mekanisme pekerjaannya, sebetulnya susah-susah gampang. Buat saya yang pernah bekerja disebuah hotel bintang 5, bekerja jadi seorang pramusaji itu mudah. Mudah dalam artian tak terlalu banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Berbeda ketika saya masih bekerja dihotel atau menjadi pramuniaga. Pekerjaan pokok saya hanya mengantarkan makanan pada pelanggan, itu saja. Namun disisi lain, karena si pemilik termasuk orang yang agak pelit, dibeberapa kesempatan saya terpaksa harus bekerja lebih dari 8 jam karena kekurangan personil di beberapa lini. Sehingga kami harus cepat tanggap meng-cover pekerja yang tidak masuk atau memang tak pernah ada orang dalam lini tersebut. Sehingga kadang saya terpaksa harus lembur. Biaya lembur yang mereka bayar sangat tak manusiawi, kami hanya dibayar Rp.5000,- saja per jamnya. Harga lima batang rokok seribuan yang dalam waktu 10 menit saja sudah hangus terbakar jadi abu buat saya. Dan itu tak berlipat ketika jam kedua dan seterusnya berlaku. Sungguh tipikal dari perusahaan diera kapital menggurita seperti sekarang. Mungkin perusahaan dimana saya bekerja sekarang ini hampir mirip dengan perusahaan-perusahaan serupa dikabupaten saya; mengupah pererjanya dengan upah murah; mengetatkan pengeluaran (sehingga biaya lembur hanya Rp.5000,- saja); memperpanjang jam kerja (dengan dalih loyalitas kepada perusahaan).

Tapi lebih dari itu, saya bertemu banyak sekali pribadi unik dipekerjaan saya kali ini. Banyak teman baru yang saya temui disini. Tak seperti ketika di Maluku sana, saya bahkan hanya berkawan akrab dengan beberapa orang saja, padahal notabene saya bekerja dipelayanan publik juga. Ada beberapa kawan yang bisa dinilai sangat dekat secara emosi dengan saya. Sebut saja Yopi (office boy), Big boy-Sandi (satpam), Endar-Roy (cook), Joy-Tata (pantri), ismi-agung (service) dan kawan-kawan lainnya yang jika saya sebut tak akan cukup dipojokan mungil ini. Tanpa disadari, banyak dari mereka memberikan pelajaran baru buat saya. Hal yang sebetulnya temeh namun cukup membuat saya kadang bersyukur bisa dipertemukan dengan pribadi-pribadi unik seperti mereka. Jika energi dan usia saya mencukupi, ingin rasanya menuliskan secara rinci tentang mereka satu persatu lengkap dengan signifikansi sosial mereka sebagai pekerja upahan disebuah kafe. Sebagai marka juga sebagai memoar dihari depan kelak.

Bukan Resensi Buku: ABC Anarkisme

Judul: ABC Anarkisme-Anarkisme untuk pemula
Penulis: Alexander Berkman
Penerbit: Daun Malam
Tahun terbit: 2017
ISBN: -
Tebal: 254 halaman

Anarkisme, paham yang seringkali disalah artikan ini memang sudah lama tak terdengar gaungnya diperhelatan politik dunia. Setelah tembok berlin dan Uni soviet runtuh, otomatis gerakan kiri banyak terbelah menjadi beberapa faksi. Ada yang lari ke politik parlementer dengan mendirikan partai hingga mereka yang masih istiqomah dengan politik extra-parlementer, seperti mereka para anarkis yang tetap istiqomah berada pada jalurnya.
Saya memang bukan seorang anarkis, namun ide-ide mereka banyak mengilhami saya selama berada dalam aktivisme politik beberapa tahun kebelakang. Sehingga mengulas buku keren ini mungkin menjadi salah satu hutang budi saya pada para anarkis termasuk pada Alexander Berkman dan yang terpenting pada Penerbit Daun Malam yang sudah rela meluangkan waktu menerjemahkan buku penting ini dalam rangka memperluas spektrum diskursus gerakan kiri pada umumnya.

Kita mulai saja. Pertama, buku ini dibuka dengan  pengantar dari Fredoom press(penerbit bahasa Inggris buku Alexander Berkman) dengan memaparkan kembali biografi singkat Alexander Berkman yang lumayan menyita banyak halaman untuk sekedar kata pengantar dari sebuah buku yang mungil ini menurut saya. Lalu halaman berikutnya kita dibawa pada kata pengantar si penulis yaitu Alexander Berkman. Untuk soal daftar isi, Alexander Berkman tahu betul siapa yang menjadi target dari penulisan buku mungilnya ini. Dan saya sangat salut pada penerbitnya yang menerjemahkan buku ini dengan bahasa yang paling bisa dimengerti oleh semua orang. Untuk ukuran buku berat seperti ini, bahasa yang digunakan sangatlah lentur dan hampir bisa dicerna oleh semua kalangan, termasuk kaum buruh. Tak seperti buku non-fiksi lainnya, ABC Anarkisme hampir mirip buku fabel untuk anak-anak yang mana penggunaan bahasanya sangatlah mudah dimengerti. Walau sebetulnya isi dari buku ini sangatlah berat untuk beberapa kalangan. Namun Daun Malam dan Alexander Berkman seperti sudah menjadi sahabat karib dalam menerbitkan buku, padahal mereka terpaut oleh masa dan daerah yang begitu berbeda dan jauh. Alexander hidup pada masa kekejian Tsar, Daun Malam hidup di era milenial. 


Di bab-bab pertama Alexander menyajikan definisi Anarkisme dengan gaya prolog yang menawan. Seperti pada bab ke-2, "Apakah Anarkisme itu kekerasan?". Dan bab ke-3, " Apa itu Anarkisme?".

Alexander hendak mendakwahi si pembaca namun dengan cara yang tidak langsung. Sungguh gaya penulisan yang penuh daya magis untuk ukuran seorang aktivis kiri pada zamannya.

Yang menarik lagi, pada pertengahan buku ini ada bagian dimana Alexander memaparkan secara rinci bagaimana anarki bisa terwujud atau dalam bahasa Alexander "sebuah keniscayaan". Seperti revolusi, persiapan, organisasi, prinsip-prinsip dan praktik, konsumsi dan pertukaran, produksi hingga mempertahankan revolusi diujung bab buku ini. Buku yang sebetulnya syarat dengan berbagai teori ilmiah ini, disajikan dengan bahasa yang sangat mudah sehingga sekalipun anak sekolah dasar yang membacanya akan langsung mengerti apa yang dimaksud dengan anarkisme dan bagaimana cara menuju pada sebuah anarki ini. Buku yang menjadi salah satu rujukan terbaik bagi kaum libertarian Indonesia ini tak pelak menjadi salah satu buku favorit saya. Selain memperkaya khazanah diskursus gerakan kiri pada umumnya, buku ini juga hadir sebagai pengisi kekosongan literatur anti-otoritarian di Indonesia. Salah satu buku rekomendasi untuk kalian yang masih salah kaprah mengartikan Anarki itu adalah sebuah kekerasan belaka.

HARAPAN DAN KEKECEWAAN

Malam itu langit agak bersahabat dari malam-malam sebelumnya. Hujan tak kunjung turun dicipanas. Biasanya hujan selalu merusak mood saya untuk beraktifitas. Tapi kali itu berbeda. Walau hujan tak kunjung turun, mood saya kacau balau. Setelah dihantam jam kerja yang lumayan mengerikan menguras tenaga, janji rapat konsolidasi bersama kawan-kawan tak kunjung terealisasi. Saya urungkun niat untuk bertemu kawan-kawan malam itu.
Setelah turun dari angkutan umum, saya bergegas menghambur tak teratur menuju rumah seorang kawan. Disana semua saya keluarkan unek-unek yang sedari bulan lalu berjejalan rapi dengan strategi politik, omong kosong busuk dan tetek bengek sejenis agar tak jadi gejah dikemudian hari. Kawan saya yang satu ini agak mengerti kenapa saya tiba-tiba uring-uringan tak jelas seperti ini. Dia sudah hapal betul bagaimana tabiat saya jika sedang banyak pikiran. Ia tak banyak menimpali, hanya satu-dua  "ya" dan "tidak" untuk menjawabnya. Dia tahu betul saya tak butuh jawaban apapun selain butuh didengarkan.
Kesimpulan saya malam itu cetek, saya hanya terlalu berharap lebih pada apapun selain diri saya sendiri. Dari mulai rapat konsolidasi hingga pertemuan-pertemuan lain yang tak terealisasi, semua bermuara pada ego saya yang terlalu tinggi memaksakan harapan saya pada orang lain. Sehingga berujung pada keterpaksaan pada orang lain. Malam jahannam itu berakhir dengan satu-dua gelas kopi dengan obrolan menggantung seperti biasanya.
Setelah ngalor-ngidul soal ini itu, saya putuskan pulang.
Saya sadar, pulang pun tak akan jadi solusi final untuk masalah-masalah yang kadung membuat kepala saya semakin botak ini. Dirumah, saya hanya tinggal berdua dengan adik laki-laki saya. Lantas ketika pulang, tak aneh jika mesin penanak nasi sialan itu isinya kosong melompong tak bisa dipakai untuk mengisi perut yang lapar ini. Saya menggerutu sejadi-jadinya. Hewan berkaki empat sudah berkali-kali keluar dari mulut saya sedari awal saya sampai dirumah. Dalam hati saya menggerutu, "kenapa hidup saya harus se-brengsek ini sekarang". Sambil menghambur membuka sepatu, saya masuk kedalam kamar saya yang bau tengiknya tak bisa ditolerir lagi itu.

Setelah banyak harapan yang hilang jadi buih hari itu, saya jadi teringat album Snicker and The Chiken Fighter di tahun 2017 lalu. Saya memutarnya berulang kali sambil membuka-buka kembali buku God Delusion karya si Dawkins itu. Setidaknya hari itu masih bisa diselamatkan oleh beberapa lagu Snicker, buku si Dawkins dan secangkir kopi instan. Walau jelas perut saya sedari turun dari angkutan umum masih terus berbunyi tak bisa dikompromi selain harus diisi.
Tak apalah, ujarku dalam hati. Yang penting mulutku masih bisa berasap dan menyeruput kopi 2 ribu perak itu ditemani dengan musik dan bacaan yang berkualitas ini. Peduli setan mereka yang selama ini selalu saya harapkan tapi tak pernah bisa diharapkan. Bila perlu, saya bisa hidup tanpa bantuan mereka.

Ramadhan Yang Perlu Diingat