Pekerjaan ini sudah saya lakoni hampir 6 bulan lamanya. Disebuah kafe yang lumayan mentereng namanya walau baru buka beberapa waktu lalu ini, pertama kali saya menjadi seorang pramusaji. Bekerja dipelayanan publik bukan hal yang asing buat saya. Berkali-kali saya terpaksa bekerja dengan kewajiban beririsan dengan khalayak umum itu. Kenapa saya bilang terpaksa? Bisa dibilang kemampuan berbicara didepan umum saya sangat payah. Namun saya tak menemukan bakat lain dalam diri saya selain harus menjadi pekerja upahan yang memaksa saya beririsan dengan banyak orang seperti sekarang. Saya tak bersyukur juga tak menyesal menjalani pekerjaan ini. Dalam kamus saya, menjadi pramusaji atau pekerjaan lainnya hanyalah peran yang disediakan sistem bagi saya. Jadi cukup saya jalani saja. Walau konsekuensinya lumayan harus menyita waktu lebih dari pekerjaan saya yang lain.
Pekerjaan ini pertama kali saya dapatkan dari seorang kawan lama yang sudah lebih awal terdaftar sebagai karyawan dikafe ini, lantas dia mengajak saya yang kala itu masih tanpa pekerjaan.
Soal upah, tak ada yang bisa saya ceritakan secara spesifik. Hampir mayoritas pekerjaan dikabupaten saya, semuanya bergaji tak kurang dari gaji saya. Kecuali buruh pabrik modern, gajinya lebih mensejahterkan ketimbang menjadi paramusaji. Maka dari itu banyak orang bermimpi bekerja dipabrik ketimbang jadi pramusaji seperti saya. Karena gaji yang kecil itu pula, saya sering berdebat dengan pacar saya. Dia yang ngotot memaksa saya mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar dari pekerjaan saya sekarang, saya yang malas harus berkompetisi dengan ribuan orang lain diluar sana untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mensejahterkan. Entah saya yang boros, atau mungkin ia adalah prototipe calon istri zaman milenial yang panutannya adalah artis yang berpenghasilan mentereng, sehingga dengan gaji saya yang sekarang ia pikir tak akan mencukupi hidupnya kelak. Ah sudahlah, saya kadung sakit hati jika harus membahas ihwal hal brengsek ini.
Ihwal mekanisme pekerjaannya, sebetulnya susah-susah gampang. Buat saya yang pernah bekerja disebuah hotel bintang 5, bekerja jadi seorang pramusaji itu mudah. Mudah dalam artian tak terlalu banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Berbeda ketika saya masih bekerja dihotel atau menjadi pramuniaga. Pekerjaan pokok saya hanya mengantarkan makanan pada pelanggan, itu saja. Namun disisi lain, karena si pemilik termasuk orang yang agak pelit, dibeberapa kesempatan saya terpaksa harus bekerja lebih dari 8 jam karena kekurangan personil di beberapa lini. Sehingga kami harus cepat tanggap meng-cover pekerja yang tidak masuk atau memang tak pernah ada orang dalam lini tersebut. Sehingga kadang saya terpaksa harus lembur. Biaya lembur yang mereka bayar sangat tak manusiawi, kami hanya dibayar Rp.5000,- saja per jamnya. Harga lima batang rokok seribuan yang dalam waktu 10 menit saja sudah hangus terbakar jadi abu buat saya. Dan itu tak berlipat ketika jam kedua dan seterusnya berlaku. Sungguh tipikal dari perusahaan diera kapital menggurita seperti sekarang. Mungkin perusahaan dimana saya bekerja sekarang ini hampir mirip dengan perusahaan-perusahaan serupa dikabupaten saya; mengupah pererjanya dengan upah murah; mengetatkan pengeluaran (sehingga biaya lembur hanya Rp.5000,- saja); memperpanjang jam kerja (dengan dalih loyalitas kepada perusahaan).
Tapi lebih dari itu, saya bertemu banyak sekali pribadi unik dipekerjaan saya kali ini. Banyak teman baru yang saya temui disini. Tak seperti ketika di Maluku sana, saya bahkan hanya berkawan akrab dengan beberapa orang saja, padahal notabene saya bekerja dipelayanan publik juga. Ada beberapa kawan yang bisa dinilai sangat dekat secara emosi dengan saya. Sebut saja Yopi (office boy), Big boy-Sandi (satpam), Endar-Roy (cook), Joy-Tata (pantri), ismi-agung (service) dan kawan-kawan lainnya yang jika saya sebut tak akan cukup dipojokan mungil ini. Tanpa disadari, banyak dari mereka memberikan pelajaran baru buat saya. Hal yang sebetulnya temeh namun cukup membuat saya kadang bersyukur bisa dipertemukan dengan pribadi-pribadi unik seperti mereka. Jika energi dan usia saya mencukupi, ingin rasanya menuliskan secara rinci tentang mereka satu persatu lengkap dengan signifikansi sosial mereka sebagai pekerja upahan disebuah kafe. Sebagai marka juga sebagai memoar dihari depan kelak.