Minggu, 01 Oktober 2017

Kue Pancong; Deskripsi singkat ihwal tempat "ngopi" favorit

Tulisan ini bukan ulasan lengkap ihwal kue pancong. Kapan pertama kali ditemukan, berasal dari mana kue ini atau segala tetek bengeknya yang lain, sekali lagi ini bukan tentang itu. Ini hanya tulisan sederhana saya soal sebuah tempat "ngopi" favorit saya.

Bicara soal tempat favorit, setiap orang pasti punya tempat favorit untuk berlama-lama menghabiskan waktu atau mengembalikan 'mood' yang terlanjur hancur dibentur realitas. Entah itu sehabis kerja, sepulang sekolah atau kegiatan melelahkan lainnya. Dihabiskan bersama teman, pacar, orang tua atau selingkuhan sekalipun itu tak masalah. Sebagian orang memilih pergi ke pantai, gunung atau alam terbuka lainnya sebagai pilihan tempat favorit mereka. Sebagian lain ada yang memilih pergi ke kafe, konser musik atau diskotik sekalipun sebagai pilihannya. Namun bagi saya, pantai, laut, gunung, diskotik, kafe atau konser musik tidak terlalu menarik untuk dipakai sebagai tempat berlama-lama membunuh waktu. Apalagi untuk memulihkan 'mood' atau mengisi energi setelah beraktivitas.
Di Cipanas, tepatnya dibelakang pasar Cipanas (tak jauh dari rumah saya) ada sebuah tempat bertuah yang wajib saya sambangi minimal sebulan sekali. Tempat itu tak besar seperti kafe modern dengan musik disana-sini. Setahu saya, ukurannya hanya 4x5 meter saja. Dengan atap terbuka dan dikelilingi kios-kios sayuran disekelilingnya, membuat suasana dingin Cipanas semakin terasa disana.
Nama penjualnya sering saya panggil Dedi Balok, entah ini nama asli atau nama alias. Tapi sejak beberapa tahun saya kesini, begitulah saya dan teman-teman yang lain memanggilnya. Beliau menjual kue pancong dimulai dari jam 01:00 dini hari. Sebuah kepeloporan tanpa kompromi. Biasanya saya dan beberapa kawan sering berlama-lama disini. Memesan secangkir kopi panas atau susu hangat untuk dikombinasikan dengan kue pancong panas  yang baru saja diambil dari panggangan adalah hal paling sakral bagi saya. Suasana hening pasar jam 01:00 dini hari semakin membuat saya betah disana. Bermodal Rp.10.000-, saja perut sudah sangat dimanjakan. Karena harga satu potong kue pancong hanya Rp.1.000-, saja. Ukurannya seukuran 3 jari manusia dewasa dengan panjang sekira 10cm.

Terkadang jika datang sendiri, saya sengaja membawa buku bacaan yang agak 'berat' kesana. Entah kenapa, suasana hening dan kadang sayup suara Radio dari kios lain membuat 'mood' dan konsentrasi saya bagus. Setelah selama seharian penuh saya bertemu dengan banyak macam masalah dan segala tetek bengek keributannya,  rasanya 'mancong' sambil sesekali membaca buku adalah pilihan paling waras bagi saya sebagai pengisi energi (recharge) dan hiburan paling menyenangkan sekaligus menenangkan.
Jika datang bersama teman, kami sering berbincang ngalor-ngidul tentang apapun sesuka kami. Dari ekonomi, politik, budaya, agama sampai problematika cinta sama sekali sering mewarnai malam menjelang subuh kami disana. Ada rona yang tak biasa disana, yang tak semua tempat bisa memancarkannya sembarangan. Saya jarang sekali punya tempat favorit. Selain kamar, perpustakaan dan dulu studio musik tak ada yang bisa membuat saya bisa bertahan lama didalamnya.
Karena pada dasarnya setiap orang selalu membutuhkan kondisi dimana dirinya merasa rileks tanpa beban dan melupakan sejenak problematika kehidupan untuk sekedar menikmati manisnya hidup yang katanya singkat ini. Dan di tempat kue pancong inilah saya merasa seperti itu. Seberat apapun beban pikiran saya, ada dalam dekadensi atau bahkan demoralisasi, disana tak pernah saya merasakan semua itu. Walau saya tahu, ini hanya untuk sejenak belaka dan tak lama harus berjejalan kembali ke realitas nyata yang menjemukkan bersama dengan yang lain.

Sumber foto dari Instagram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ramadhan Yang Perlu Diingat