Senin, 02 Oktober 2017

Bukan Resensi Buku: Islam Bagi Kaum Tertindas

Judul: Islam Bagi Kaum Tertindas—Kerangka pembebasan kaum Mustadl'afin dari teologi ke sosiologi
Penulis: Ki H. Ashad Kusuma Djaya
Penerbit: Kreasi Wacana
Tahun terbit: Agustus 2016
ISBN: 978-602-9020-73-1
Tebal: 192 halaman

Sudah lama saya ingin mengulas buku favorit saya ini, namun karena berbagai kesibukan, saya baru berkesempatan mengulasnya. Bulan agustus kemarin genap satu tahun buku ini diterbitkan oleh Kreasi Wacana, namun sampai saat ini saya belum mendapatkan sebuah resensi komprehensif ihwal buku ini. Tulisan ini adalah dalam rangka mengisi kekosongan itu, walau saya tahu masih banyak kekurangan didalamnya, namun saya mencoba semaksimal mungkin untuk meresensinya disini.
Sebelum masuk dalam pembahasan isi buku, ada baiknya saya perkenalkan terlebih dahulu siapa penulis buku ini. Adalah Ki H. Ashad Kusuma Djaya yang menulis buku ini. Beliau pernah belajar di UGM, namun lebih banyak  belajar di jalanan, ruang diskusi, dan turun kelapangan. Menyandang gelar "Ki" setelah memimpin sebuah padepokan yang menjadi semacam pesantren pemikiran, lembaga penelitian atau "School of Thought" yang mengembangkan semangat keagamaan yang selaras dengan alam, spiritualitas berbasis pemberdayaan rakyat dan pengkajian untuk pembangunan ilmu sosial profetik. Beliau juga pernah aktif di organisasi Muhammadiyah dalam kegiatan tingkat ranting hingga pimpinan pusat.

Apa saja isi buku ini? Ide apa yang ingin disampaikan buku ini? Kira-kira begitulah pertanyaan dibenak saya ketika pertama melihat cover buku ini. Di benak saya terpikir pertama kali buku ini adalah sebuah jalan alternatif atau artikulasi semangat beragama di era kapitalisme hari ini. Dan tentu saja tebakan saya memang benar. Buku ini memuaskan ekspektasi saya. Ki H. Ashad dalam buku ini pertama-tama mengurai pondasi dasar Islam Bagi Kaum Tertindas (selanjutnya IBKT) atau lebih tepatnya redefinisi untuk teologi IBKT seperti; (1) Iman kepada Allah, (2) Iman kepada malaikat, (3) Iman kepada Kitab Allah, (4) Iman kepada Rasul Allah, (5) Iman kepada Hari Akhir dan terkahir (6) Iman kepada Qada dan Qadar.

Secara garis besar buku ini dibagi dalam 3 bab. Bab pertama berisi pondasi telogis IBKT seperti yang saya tulis diatas. Bab kedua berisi Studi kritis pemikiran Islam dan Pembebasan. Dalam bab kedua ini, Ki H. Ashad mengurainya kembali secara rinci dalam beberapa bagian. Dalam bab dua ini,  Ki H. Ashad mengurai Sosialisme Islam Tjikroamimoto, sosialisme religius Mohammad Hatta, Teologi Al-Maa'uun Ahmad Dahlan, Kiri Islam Hasan Hanafi, Sosialisme Islam Ali Syariati hingga Keadilan Islam menurut Sayyid Quthb.

Dalam bab ketiga, Ki H. Ashad menulis sebuah judul Menuju Sosiologi Islam Bagi Kaum Tertindas sebagai pamungkas dari buku ini.

Bab ketiga ini berisi antara lain Epistomologi Sosiologi Islam Bagi Kaum tertindas, Sifat Ilmu sosial Islam, Aktor sosial dan Reproduksi sosial, Dialektika, Perubahan sosial dan terkahir PerlukahSebuah Sosiologi Islam Bagi Kaum Tertindas?

Sejauh ini buku IBKT karya Ki H. Ashad adalah salah satu kajian komprehensif ihwal Islam yang memihak. Sekaligus sebuah otokritik bagi gerkan Islam Kontemporer dihadapan Pasar bebas-nya Kapitalisme. Saya rasa buku ini hadir pada saat yang tepat, hadir disaat Ummat muslim dilanda krisis multidimensi seperti saat ini sebagai alternatif terbaik untuk kebekuan gerakan sosial Islam yang Universal.

Minggu, 01 Oktober 2017

Kue Pancong; Deskripsi singkat ihwal tempat "ngopi" favorit

Tulisan ini bukan ulasan lengkap ihwal kue pancong. Kapan pertama kali ditemukan, berasal dari mana kue ini atau segala tetek bengeknya yang lain, sekali lagi ini bukan tentang itu. Ini hanya tulisan sederhana saya soal sebuah tempat "ngopi" favorit saya.

Bicara soal tempat favorit, setiap orang pasti punya tempat favorit untuk berlama-lama menghabiskan waktu atau mengembalikan 'mood' yang terlanjur hancur dibentur realitas. Entah itu sehabis kerja, sepulang sekolah atau kegiatan melelahkan lainnya. Dihabiskan bersama teman, pacar, orang tua atau selingkuhan sekalipun itu tak masalah. Sebagian orang memilih pergi ke pantai, gunung atau alam terbuka lainnya sebagai pilihan tempat favorit mereka. Sebagian lain ada yang memilih pergi ke kafe, konser musik atau diskotik sekalipun sebagai pilihannya. Namun bagi saya, pantai, laut, gunung, diskotik, kafe atau konser musik tidak terlalu menarik untuk dipakai sebagai tempat berlama-lama membunuh waktu. Apalagi untuk memulihkan 'mood' atau mengisi energi setelah beraktivitas.
Di Cipanas, tepatnya dibelakang pasar Cipanas (tak jauh dari rumah saya) ada sebuah tempat bertuah yang wajib saya sambangi minimal sebulan sekali. Tempat itu tak besar seperti kafe modern dengan musik disana-sini. Setahu saya, ukurannya hanya 4x5 meter saja. Dengan atap terbuka dan dikelilingi kios-kios sayuran disekelilingnya, membuat suasana dingin Cipanas semakin terasa disana.
Nama penjualnya sering saya panggil Dedi Balok, entah ini nama asli atau nama alias. Tapi sejak beberapa tahun saya kesini, begitulah saya dan teman-teman yang lain memanggilnya. Beliau menjual kue pancong dimulai dari jam 01:00 dini hari. Sebuah kepeloporan tanpa kompromi. Biasanya saya dan beberapa kawan sering berlama-lama disini. Memesan secangkir kopi panas atau susu hangat untuk dikombinasikan dengan kue pancong panas  yang baru saja diambil dari panggangan adalah hal paling sakral bagi saya. Suasana hening pasar jam 01:00 dini hari semakin membuat saya betah disana. Bermodal Rp.10.000-, saja perut sudah sangat dimanjakan. Karena harga satu potong kue pancong hanya Rp.1.000-, saja. Ukurannya seukuran 3 jari manusia dewasa dengan panjang sekira 10cm.

Terkadang jika datang sendiri, saya sengaja membawa buku bacaan yang agak 'berat' kesana. Entah kenapa, suasana hening dan kadang sayup suara Radio dari kios lain membuat 'mood' dan konsentrasi saya bagus. Setelah selama seharian penuh saya bertemu dengan banyak macam masalah dan segala tetek bengek keributannya,  rasanya 'mancong' sambil sesekali membaca buku adalah pilihan paling waras bagi saya sebagai pengisi energi (recharge) dan hiburan paling menyenangkan sekaligus menenangkan.
Jika datang bersama teman, kami sering berbincang ngalor-ngidul tentang apapun sesuka kami. Dari ekonomi, politik, budaya, agama sampai problematika cinta sama sekali sering mewarnai malam menjelang subuh kami disana. Ada rona yang tak biasa disana, yang tak semua tempat bisa memancarkannya sembarangan. Saya jarang sekali punya tempat favorit. Selain kamar, perpustakaan dan dulu studio musik tak ada yang bisa membuat saya bisa bertahan lama didalamnya.
Karena pada dasarnya setiap orang selalu membutuhkan kondisi dimana dirinya merasa rileks tanpa beban dan melupakan sejenak problematika kehidupan untuk sekedar menikmati manisnya hidup yang katanya singkat ini. Dan di tempat kue pancong inilah saya merasa seperti itu. Seberat apapun beban pikiran saya, ada dalam dekadensi atau bahkan demoralisasi, disana tak pernah saya merasakan semua itu. Walau saya tahu, ini hanya untuk sejenak belaka dan tak lama harus berjejalan kembali ke realitas nyata yang menjemukkan bersama dengan yang lain.

Sumber foto dari Instagram

Ramadhan Yang Perlu Diingat