Judul: Aku, buku dan sepotong sajak cinta
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Scripta Manent
ISBN: 979-99561-3-1
Tahun terbit: Cetakan baru agustus 2016
Sudah lama saya ingin mengulas tentang buku yang satu ini. Namun karena berbagai kesibukan, beberapa kali sempat saya simpan di draft dan tak pernah rampung saya selesaikan. Malam ini saya kembali membacanya. Walau hanya beberapa bagian saya baca kembali, namun cukup membuat saya kembali merasa dihantarkan kedalam dunia si "Aku" yang serba penuh petualangan dengan buku itu. Tebak apa yang membuat saya begitu jauh hanyut dalam plot novel ini? Ya. Saya begitu terkesima oleh kehidupan si "Aku" dalam novel ini. Dia sosok sederhana yang begitu tergila-gila terhadap buku dan memutuskan untuk mencoba menulis agar bisa terus bertahan hidup dalam rinainya dunia perbukuan di Jogjakarta. Sebetulnya buku ini terilhami dari pengalaman pribadi si penulis yaitu Muhidin M. Dahlan. Namun Gus Muh (sapaan Muhidin) menyajikannya dengan lebih universal dan memasukan nama-nama samaran untuk beberapa tokoh yang hadir dalam buku ini. Jujur saja, ini buku yang membuat saya kembali ingin menulis dan membaca buku. Setelah beberapa tahun kegiatan tulis-menulis dan baca-membaca saya tertunda karena terlalu sibuk bekerja.
"Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya." Begitulah kira-kira seruan dari sebuah manifesto penuh dendam dari kekalahan nasib si "Aku" dalam buku ini yang membuat saya berkali-kali jatuh cinta terhadap buku ini. Banyak gaya penulisan yang saya pelajari dari buku ini yang saya tiru. Karena jujur saja, gaya semacam ini dangat mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Bahkan bagi mereka yang kurang memahami sastra sekalipun seperti saya. Konflik-konflik dalam buku tak terlalu membuat dahi berkerut. Dan satu hal lagi yang membuat saya suka dengan buku ini adalah; banyak kutipan para penulis besar maupun tokoh yang tak pernah saya temui sebelumnya. Nama-nama seperti Allan light, desiderius eramus, pramoedya ananta toer, tan malaka hingga jalaluddin rakhmat sesekali disebut dalam buku ini.
Seperti judul tulisan ini diatas, ini bukan sebuah resensi buku. Hanya sebuah ungkapan rasa kagum saya terhadap buku yang mampu membuat saya semakin gemar membaca kembali ini. Jadi selamat kecewa bagi kalian yang berharap saya mengulasnya secara mendetail dengan gaya peresensi senior yang mampu menyihir anda. Saya sarankan bagi kalian yang suka membaca novel fiksi, buku ini menjadi rekomendasi pertama saya. Apalagi bagi mereka yang haus akan buku yang kaya akan karya sastra, buku ini hadir kembali untuk mengisi kekosongan itu. Akhirul kalam.