Kamis, 24 November 2016

Bukan Resensi Buku: Aku, buku dan sepotong sajak cinta

Judul: Aku, buku dan sepotong sajak cinta
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Scripta Manent
ISBN: 979-99561-3-1
Tahun terbit: Cetakan baru agustus 2016

Sudah lama saya ingin mengulas tentang buku yang satu ini. Namun karena berbagai kesibukan, beberapa kali sempat saya simpan di draft dan tak pernah rampung saya selesaikan. Malam ini saya kembali membacanya. Walau hanya beberapa bagian saya baca kembali, namun cukup membuat saya kembali merasa dihantarkan kedalam dunia si "Aku" yang serba penuh petualangan dengan buku itu. Tebak apa yang membuat saya begitu jauh hanyut dalam plot novel ini? Ya. Saya begitu terkesima oleh kehidupan si "Aku" dalam novel ini. Dia sosok sederhana yang begitu tergila-gila terhadap buku dan memutuskan untuk mencoba menulis agar bisa terus bertahan hidup dalam rinainya dunia perbukuan di Jogjakarta. Sebetulnya buku ini terilhami dari pengalaman pribadi si penulis yaitu Muhidin M. Dahlan. Namun Gus Muh (sapaan Muhidin) menyajikannya dengan lebih universal dan memasukan nama-nama samaran untuk beberapa tokoh yang hadir dalam buku ini. Jujur saja, ini buku yang membuat saya kembali ingin menulis dan membaca buku. Setelah beberapa tahun kegiatan tulis-menulis dan baca-membaca saya tertunda karena terlalu sibuk bekerja.

"Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya." Begitulah kira-kira seruan dari sebuah manifesto penuh dendam dari kekalahan nasib si "Aku" dalam buku ini yang membuat saya berkali-kali jatuh cinta terhadap buku ini. Banyak gaya penulisan yang saya pelajari dari buku ini yang saya tiru. Karena jujur saja, gaya semacam ini dangat mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Bahkan bagi mereka yang kurang memahami sastra sekalipun seperti saya. Konflik-konflik dalam buku tak terlalu membuat dahi berkerut. Dan satu hal lagi yang membuat saya suka dengan buku ini adalah; banyak kutipan para penulis besar maupun tokoh yang tak pernah saya temui sebelumnya. Nama-nama seperti Allan light, desiderius eramus, pramoedya ananta toer, tan malaka hingga jalaluddin rakhmat sesekali disebut dalam buku ini.


Seperti judul tulisan ini diatas, ini bukan sebuah resensi buku. Hanya sebuah ungkapan rasa kagum saya terhadap buku yang mampu membuat saya semakin gemar membaca kembali ini. Jadi selamat kecewa bagi kalian yang berharap saya mengulasnya secara mendetail dengan gaya peresensi senior yang mampu menyihir anda. Saya sarankan bagi kalian yang suka membaca novel fiksi, buku ini menjadi rekomendasi pertama saya. Apalagi bagi mereka yang haus akan buku yang kaya akan karya sastra, buku ini hadir kembali untuk mengisi kekosongan itu. Akhirul kalam. 

Sabtu, 19 November 2016

Basa-basi

Lama tak menulis. Bukan karena sibuk, namun hari-hari ini jari serasa kaku membabar kata demi kata dihadapan keyboard karena lama saya tak membaca buku. Imaji serasa kering jika tak dinutrisi vitamin pengetahuan. Mengakses internet pun jarang saya lakukan. Sekali lagi bukan karena sibuk, tapi malas kadung jadi teman setia setelah banyak waktu luang di cipanas.
Sudah berbulan jari ini tak menari dihadapan keyboard. Rasanya malu untuk menjentikkannya lagi, malu karena rindu terlanjur jadi gejah antara keyboard dan jari ini.
Hampir tiga minggu saya menetap kembali di cipanas setelah beberapa minggu lalu pulang dari tanah asing Tobelo. Banyak kisah yang ingin saya tulis menyoal kota itu. Namun energi saya banyak terkuras akhir-akhir ini untuk aktivitas yang lain ketimbang mengingat memori tentang Tobelo dan menuliskannya. Mungkin lain kali saya akan menuliskannya dalam sajak, esai atau sejenisnya jika saya mau. Karena saya tahu menulis tentang kota itu tak akan semudah mengerjakan PR anak kelas 1 SD. Tulisan ini hanya sebagai obat penat saya dalam menjalani hari yang lumayan berat setiap harinya, bukan sebuah catatan spesial karena sudah lama tak menulis. Walau sebenarnya ada banyak tulisan yang berjejal di draft yang belum selesai saya lanjutkan tentang banyak hal. Dan terakhir sebelum mengakhiri tulisan ini, mungkin nanti tulisan saya akan jarang ditemukan di internet. Bukan karena sombong atau sok misterius. Namun saya memang sedang banyak membaca buku akhir-akhir ini dan mengurangi aktivitas menulis saya. Karena saya rasa ada banyak sekali koreksi disana-sini dalam tulisan saya yang harus saya perbaiki. Akhirul kalam

Sabtu, 05 November 2016

Sebuah catatan pendek tentang perjalanan menuju halmahera utara (2)

Tepat pukul 07:04 pesawat yang saya tumpangi dari jakarta tiba di bandara Sultan Babulah Ternate. Sepanjang perjalanan udara itu saya enggan tidur. Mata tak bisa diajak kompromi. Saya hanya sesekali membaca buku dan kadang menerawang keluar jendela pesawat yang masih gulita. Sempat beberapa jam transit di Makassar namun pesawat dan kru-nya masih tetap sama. Penumpang pun tak banyak yang berubah.
Dipagi yang sudah terik itu ditengah kelelahan yang sangat saya sempatkan menyalakan handphone karena semenjak dipesawat sengaja saya matikan. Tak ada pesan baru atau apapun. Saya taruh dalam saku dan meluncur menuju orang-orang yang sibuk menawari tumpangan dari bandara. Seperti sebelumnya, terjadi percakapan alot soal harga yang cocok sebagai sewa yang akan disepakati. Saya enggan berdebat. Tak banyak bicara saya langsung sepakat saja dengan harga yang ditawarkan supir karena lelah kadung saya tahan. Saya menuju pelabuhan Ferry dengan 2 orang lain yang tak saya kenal dalam mobil. Hanya beberapa menit tak sampai setengah jam saya sudah tiba. Lapar membawa saya menuju warung nasi dengan menghambur.Walau dipesawat disediakan makanan sampai dua kali, namun nafsu makan saya sedang tak berselera. Saya pesan makanan sambil bertanya itu ini kepada si ibu penjual nasi. Karena baru kali ini saya masuk ke pelabuhan Ferry. Ada dua alternatif menuju sofifi sebenarnya; pertama memakai speedboat namun harganya sedikit mahal namun dengan waktu yang lebih efisien, kedua  ya memakai Ferry ini. Walau memakan waktu dua jam namun harga relatif murah untuk kelas ekonomi rendahan seperti saya; 23 ribu jika saya tidak salah harga untuk satu tiket dewasa.
Setelah menunggu beberapa jam akhirnya Ferry yang saya tunggu tiba. Segalanya bersicepat entah dengan apa. Semua orang tampak sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menuju lorong tempat Ferry bertengger.
Didalam kapal saya duduk dilantai kedua. Karena lantai paling bawah disediakan untuk kendaraan seperti truk hingga motor. Saya memilih lantai dua bukan tanpa alasan. Beban yang saya bawa sangat berat berkombinasi dengan lelah yang sejak tadi pagi bergelayut tak memungkin saya berjalan jauh. Apalagi setelah makan rasanya mata tak bisa dikompromi. Dalam situasi seperti itu rasanya saya menyesal membawa buku banyak-banyak. Namun di lain waktu, saya bersyukur bisa membawa banyak buku bacaan. Persis seperti ketika saya menunggu Ferry tiba, sempat saya bersyukur karena bisa membunuh kebosanan dengan membaca buku yang saya bawa. Saya pilih buku ringan saja. Journey-nya Danielle Steel sepertinya cocok menjadi pengisi energi kala dalam lambung kapal besi itu. Mata tak bisa lagi berkompromi. Saya tidur sejenak dan menutup buku. Perjalanan melelahkan ini rasanya tak habis-habis.
Setelah terbangun, dan kapal mulai bersandar di pelabuhan sofifi. Saya mengankat koper lalu turun ke dek paling bawah sambil menyeka mata yang setengah sadar. Saya mengira ini perjalanan Bogor-Banten yang hanya memakan waktu beberapa jam saja, namun sekali lagi saya salah. Saya segera menghambur bersama penumpang lain bersicepat menuju jalan keluar. Di pelabuhan saya tak banyak tingkah, memesan mobil ke arah tobelo lalu sambil menunggu penumpang lain yang hendak menuju tujuan yang sama sambil terus merapal lelah. Kira-kira butuh waktu 4 jam sebelum sampai di pondokan. Saya hanya sesekali tertidur dalam mobil karena tak kuasa menahan lelah. Walau buku saya pegang tapi tak sampai hati untuk membacanya. Jam sudah menunjukkan pukul 18.15 WIT. Perjalanan molor beberapa jam seperti yang saya rencanakan karena beberapa hal. Tapi sudahlah. Saya berhenti tepat didepan jalan pondokan dan langsung menghambur masuk membuka kunci kedalam pondokan dan sejenak beristirahat sebelum mandi dan pergi solat magrib.

Ramadhan Yang Perlu Diingat