Belajar hidup kaya dalam kemiskinan
Belajar hidup sombong dalam kebersahajaan
Belajar hidup gembira dalam kesedihan
Usia saya belum genap dua puluh empat tahun. Untuk ukuran pemuda yang mulai beranjak dewasa seperti layaknya pemuda lain yang seumuran, saya bisa dikatakan gagal dalam proses bertumbuh. Bayangkan saja, teman-teman seusia saya sekarang minimal sudah mempunyai kendaraan roda dua hasil jerih payah mereka-entah itu dari menabung atau riba dengan mencicilnya-karena kalian tahu lah zaman sekarang ukuran sukses seseorang bisa dilihat dari seberapa banyak harta benda yang dia dapatkan dari hasil bekerja. Bukan hanya itu, untuk pemuda seumuran saya setidaknya sudah punya rencana untuk menikah dengan lawan jenis dan mulai menabung untuk pernikahan kelak. Sedangkan saya jangankan tabungan untuk bisa makan saja susahnya alang-kepalang. Karena bagi saya, bekerja hanya untuk bisa makan dan membeli buku. Itu saja tak lebih.
Saya tumbuh seperti layaknya kebanyakan remaja urban pinggiran kota lainnya yang dijejali hidup komsumtif a'la orang barat. Seperti rata-rata anak urban poor lainnya, saya hidup sebagai pekerja upahan selepas sekolah menengah atas selesai. Mengadu nasib di dunia industri sebagai buruh saya pernah mencecapnya. Menjadi seorang pramuniaga disebuah swalayan pun saya pernah menjalaninya. Menjadi seorang pencuci piring di hotel berbintang lima pun pernah saya rasakan. Menjadi pelayan disebuah taman hiburan pun tak pelak saya alami. Apalagi menjadi buruh kasar serabutan yang gajinya untuk makan pun tak cukup saya pernah merasakannya. Maklum lah pendidikan saya tak pernah mengizinkan saya untuk bisa setidaknya bekerja di depan komputer dengan AC selama 8 jam dan mendapat bonus bulanan jalan-jalan ke bali setiap bulan bersama bos tak pernah saya rasakan. Karena minimal untuk bisa bekerja seperti itu selain memerlukan ijazah yang lebih tinggi dari sekedar sekolah menengah atas juga membutuhkan keterampilan khusus lainnya. Atau setidaknya kita punya cara lain seperti cara koruptif dengan masuk lewat kenalan atau sejawat dalam perusahaan yang bisa memposisikan kita pada pekerjaan tersebut. Karena ini bumi bukan surga, semuanya masih bisa terjadi walau jalannya tak di ridhoi.
Karena saya tak lahir dari keluarga cendana yang hartanya tak habis walau dirayak tujuh turunan bersama-sama jadi selepas lulus dari sekolah menengah atas saya harus langsung mencari kerja. Jangan bayangkan harus berwirausaha, selain karena saya tak berbakat disana, pula karena berwirausaha harus berbekal modal yang mumpuni agar ditengah jalan tak rugi. Jangan pikirkan pula saya bisa memilih, karena selepas lulus dari sekolah menengah atas saya hanya punya dua pilihan; (1) rela jadi sampah masyarakat dengan menjadi seorang pengangguran yang harus kuat menanggung beban sosial karena hidup ditanggung orang tua (2) berkompetisi dengan ribuan orang yang juga baru lulus dari sekolah menengah atas mencari pekerjaan ditengah lapangan pekerjaan yang sangat minim dan selektif dalam memilih karyawan.
Jangan pikirkan pula untuk melanjutkan sekolah menjadi mahasiswa, dalam keluarga saya bisa makan saja bersyukurnya sudah tak kepalang, apalagi bisa melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya. Memang saya sempat mendapat kesempatan beasiswa di salah satu unversitas komputer terkemuka di Bandung. Namun saya urung meminangnya. Ya apalagi alasnnya kalau bukan karena biaya. Karena beasiswa itu hanya membebaskan saya dari biaya awal dan penyeleksian semata, bukan membiayai saya samapai khatam jadi sarjana.
Jadi saya memutuskan untuk mencari kerja saja agar bisa dapat uang untuk sekolah adik-adik saya dan makan orang tua saja tadinya. Karena saya sejak kecil sudah ditinggal bapak jadi mau tak mau selepas sekolah saya harus membiayai hidup keluarga.
Saya masih ingat dulu ketika saya pertama kali melamar kerja di sebuah swalayan di kota. Belum bekerja saja, saya sudah harus mengeluarkan uang untuk memenuhi tetek bengek persyaratan dari perusahaan. Alhasil karena kami keluarga tak punya, mencari pinjamanlah solusinya. Waktu itu saya sudah berhutang sekitar 500 ribu pada bibi saya untuk membeli segala persyaratan perusahaan hingga menyewa kontrakan selama training pra-kerja di kota. Belum juga diterima saya sudah harus menghabiskan rupiah sebanyak itu dengan harapan nanti setelah mendapatkan gaji dari hasil sebulan bekerja saya bisa menggantinya. Jangan tanya soal berapa gajinya, waktu itu menjadi seorang pelayan di swalayan gajinya tak lebih besar dari seorang buruh upahan dipabrik.
Saya memilih jalan bekerja jadi pelayan bukan tanpa alasan. Kakak saya yang lebih tua beberapa tahun dari saya sudah bekerja diperusahaan yang sama yang saya lamar hari itu lima tahun lebih awal. Dan katanya bekerja disana lebih "menyenangkan" ketimbang bekerja jadi buruh pabrik. Tak banyak pikir, saya langsung memilihnya dengan harapan saya bisa segera mendapat uang hasil jerih payah sendiri agar bisa membiaya band saya dan bisa membeli beberapa kaset dari band favorit saya waktu itu. Tak pernah terbesit untuk membeli buku secuil pun.
Dan sekarang setelah berbulan menjadi sampah masyarakat dengan menjadi pengangguran akhirnya saya mendapatkan pekerjaan kembali. Memang gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk makan dan membeli buku. Itu saja cukup membuat saya bahagia tak keruan. Kawin? Ah rasanya belum ada pikiran sampai kesana hari ini. Walau ada seorang perempuan yang saya taksir namun rasanya saya tak pantas untuk dia. Mana mungkin perempuan cantik nan baik hati itu mau dengan saya yang miskin dan tak berpendidikan ini. Mau diberi makan apa nanti kalau sudah kawin? Tak mungkin juga kalau saya memberinya makan buku. Tak mungkin !!!