Jumat, 06 September 2019

Untuk si jabang bayi

Ketika ayah menulis ini, mungkin umurmu baru beberapa bulan. Ibumu bilang, kamu baru berumur sekitar 7 minggu. Umur yang masih rentan. Setiap ada kesempatan, ayah selalu mengelusmu lewat perut ibu. Menyanyikan lagu kesayangan ayah agar kelak kamu mengenal melodi-melodi. Kadang ayah suka bercerita denganmu lewat perut ibu. Menceritakan hari-hari bernas yang ayah lalui. Kadang juga cerita-cerita heroik para aktivis favorit ayah. Harapan ayah, kelak kamu akan menjadi seperti mereka yang lantang menyuarakan kebenaran walau kata orang seperti menggenggam bara ditangan. Setiap hari ayah selalu mendoakamu dan ibumu agar selalu sehat dan berlimpah rezeki. Kadang juga ibu suka melantunkan ayat-ayat suci untuk mengiringimu tidur pada malam hari. Alasannya agar kelak kamu akan jadi anak yang taat pada Tuhan—seperti ibumu.
Kami menitipkan ribuan harapan bersama kelahiranmu kelak nak. Namun yang terpenting dari semua hal yang selalu ayah dan ibu harapkan adalah; kamu selalu sehat, ketika lahir kelak dan saat bertumbuh nanti.
Maafkan ayah jika banyak hari-harimu dilewati tanpa makanan yang bergizi nak. Ayah berusaha sekuat tenaga setiap hari untuk memperbaiki gizimu. Memaksa ibu untuk makan buah-buahan yang diberikan nenek. Ibu memang termasuk orang yang pemilih soal makanan untukmu nak. Dia ingin kebutuhan nutrisimu terpenuhi minimal ketika dalam perutnya seperti sekarang. Berbeda dengan ayah. Ayah memang agak acuh soal nutrisimu, karena ayah tahu ada orang yang terpercaya untuk memastikan nutrisi yang presisi buatmu; Ibu.

Biasanya hampir setiap hari kamu membuat perut ibu sakit. Kadang juga mual. Sehingga ibu jarang makan nasi karenanya. Ayah juga sering memijat perut ibu ketika kamu mulai menendang-nendang perutnya.
Disini ayah tak bisa bercerita banyak. Nanti ketika kamu sudah berumur 4 bulan atau lebih dalam perut ibu, ayah akan banyak bercerita lagi. Karena ketika itu, konon pendengaranmu mulai bekerja sedikit-sedikit. Atau nanti ketika kamu sudah menggagahi dunia ini, ayah akan cerita lebih panjang lagi ihwal banyak hal.
Semoga kamu sehat selalu. Ayah dan ibu menyayangimu.

Rabu, 04 September 2019

Pada malam yang muram

Malam semakin gelap, langit tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan menurunkan hujan. Walau udara malam hari dicipanas semakin menusuk sampai tulang-belulang meski hujan tak kunjung turun. Sudah beberapa bulan ini hujan turun tak se-intens biasanya. Menurut info dari BMKG yang saya dapat tadi sore, curah hujan dipulau jawa memang semakin menurun setiap tahunnya sebanyak 3%. Mungkin akibat global warming atau apalah saya kurang mengerti hal seperti itu. Malam ini istri saya tak terlalu rewel seperti malam-malam sebelumnya soal perutnya yang semakin tua masa kehamilannya, semakin sering mules ketika tengah malam seperti ini. Saya agak lega untuk hal itu. Karena malam ini saya bisa membaca buku dan menulis dengan tenang. Buku Linda Christanty baru saja saya rampungkan malam ini. Judulnya "Seekor burung kecil biru di Naha". Sambil ditemani Album Californication dari Red Hot chilli peppers, rasanya membuat langit semakin murung malam ini. Linda Christanty awalnya bukan termasuk penulis favorit saya. Pertemuan pertama saya dengan tulisan Linda Christanty berawal dari esainya yang berjudul "Saya dan Islam" di kolom oase situs Indoprogress pada 2014 lalu ketika masih di halmahera utara dulu. Saya langsung tertarik dengan gaya tutur reportase dari tulisan Bu Linda tersebut. Usut punya usut, ternyata Bu Linda memang seorang wartawan cum sastrawan. Membaca buku Seekor burung kecil biru di Naha membuat pikiran saya melayang ke berbagai tempat seperti reportase dalam buku tersebut. Mula-mula saya dibawa menuju Aceh dengan konflik separatisnya yang dulu secara kebetulan sempat saya gandrungi. Lalu diajak mengakrabi kehidupan seorang Waria hingga pergulatan Partai Komunis Thailand melawan status quo dan pengalamannya berkunjung ke India utara. Tulisannya energik, menggugah serta mengalir seperti air. Kekuatan tulisannya hadir dari gaya reportase naratif berdasarkan data lapangan yang valid. Sehingga membuat saya terhanyut. Sebelumnya jarang sekali saya menamatkan buku hanya dalam hitungan waktu yang singkat seperti membaca buku ini. Saya membaca buku ini pertama kali dalam perjalanan cipanas-cianjur untuk berangkat bekerja dalam angkutan umum selasa kemarin. Panas yang mendera angkutan, membuat saya membutuhkan bacaan yang menyejukan, singkat, ringkas serta bernas. Setelah mengacak-acak isi handphone, saya menemukan buku ini. Dari sekian banyak buku yang saya simpan dalam handphone, entah kenapa buku ini menjadi pilihan pertama saya. Sebelumnya saya tertarik untuk membuka kumpulan tulisan Emma Goldman. Namun saya urungkan. Isinya mungkin akan memprovokasi ingatan hari- hari militan itu, pikir saya. Lalu berniat membuka buku Tidak Ada Ojek di Paris karya Seno Gumira, namun saya urungkan kembali. Akhirnya saya putuskan membuka buku ini. Secara continue, saya membaca satu persatu kisah di dalamnya. Saya jadi teringat George Orwell ketika menulis buku Homage to Catalonia ketika membaca kisah-kisah di dalamnya. Jurnalisme naratif yang lagi-lagi membuat saya terpukau membacanya. Gaya penulisannya hampir mirip dengan Orwell. Ketika membaca lagi Orwell, saya tergoda untuk menulis lagi. Setelah lama sekali saya tak menulis, mungkin hampir setahun. Akhirnya malam ini ditemani langit yang muram saya putuskan menulis lagi sebagai ibadah passion dan sebagai pengusir kebosanan menunggu si jabang bayi yang akan dilahirkan kedunia sebentar lagi.

Ramadhan Yang Perlu Diingat