Rabu, 31 Agustus 2016

DI PENGHUJUNG AGUSTUS

Ini malam terakhir dibulan agustus. Saya sengaja membiarkannya terkesan merayap agar tak susah untuk saya ingat dihari depan nanti. Malam semakin larut, saya dan beberapa lembar buku yang dibiarkan berserakan begitu saja.
Sambil menahan kantuk sepulang beraktivitas saya selalu menyempatkan diri untuk setidaknya menulis beberapa hal tak penting seperti tulisan ini sebagai
pelipur lara juga sebagai ibadah passion saya jika suatu saat sindrom uring-uringan datang tiba-tiba.
Bulan ini bergegas begitu cepat. Hingga tak terasa semuanya berlalu begitu saja tanpa resistensi berarti akhir-akhir ini. Beberapa mimpi memang sempat terwujud dibulan ini. Namun ada pula mimpi yang tak perlu menemukan realisasinya dan terpaksa saya simpan rapi di rak-rak harapan berjejer dengan sengkarut argumen basi lainnya.
Saya sempat menghabiskan awal bulan ini di cipanas selama liburan beberapa waktu lalu. Mengunjungi beberapa kawan lama, bercerita tentang peta perjalanan dengan minuman baru dan tempat lama.
Tak banyak yang berubah dari cipanas, hanya beberapa tempat yang direnovasi dan seperti halnya destinasi wisata lainnya, cipanas semakin dipenuhi turis-domestik maupun asing
Bahkan di daerah tertentu malah saya dapati perubahan yang signifikan, menjamurnya toko-toko kebutuhan orang timur tengah, restoran-restoran dan banyak lagi arabisasi-arabisasi lainnya dicipanas baru-baru ini.
Saya tak ingin berkomentar lebih jauh perihal itu. Sudah menjadi rahasia umum jika cipanas memang surganya turis dari daerah timur tengah dan saya yakin beberapa tahun kedepan cipanas akan menjadi destinasi wisata paling ramah bagi turis asal timur tengah seperti halnya warung kaleng di cisarua sana. Lihat saja nanti !!
Setelah dua tahun lamanya saya tak pulang, banyak hal yang saya lewatkan dicipanas. Dari mulai scene yang agak meredup sampai band-band baru yang bermunculan bak jamur dimusim hujan-namun tetap dengan pemain-pemain lama.
Begitupun dengan kawan-kawan disana, semuanya tampak tak berubah. Dengan kebanalan rutinitas yang semakin hari makin menyebalkan saya tahu pasti kawan-kawan disana tak jauh berbeda dengan saya perihal aktivitas sehari-hari. Mencari nafkah demi terus menghidupi hidup dari pekerjaan yang sama menjemukannya disini.
Memang tak semua kawan disana bisa saya jumpai hanya dalam waktu singkat itu, ada beberapa kawan yang memang sangat sibuk sehingga kami hanya bisa berkabar via media sosial saja. Namun saya masih bersyukur kalian tetap dapat waras ditengah hiruk-pikuk dunia yang semakin gila ini.
Satu hal yang saya kagumi dari kalian adalah; kalian selalu tahu cara paling efektif untuk menjaga kewarasan ditengah segambreng problematika hidup dengan menikmati secangkir kopi hangat dimalam hari sambil bercerita tentang masa-masa dimana dulu kita pernah menjadi waras. Begitulah cara paling waras yang dulu sering kita lakukan untuk menjaga kewarasan.
Jujur saja saya sangat menikmati waktu singkat disana kemarin, walau ada beberapa hal yang sedikit membuat saya kecewa karena beberapa kawan sempat bersikap antipati terhadap perubahan yang saya alami selama ini.
Saya memang sudah memustuskan untuk berhenti di dunia musik sejak lama. Bukan hanya karena scene di cipanas yang sedikit monotone tapi lebih kepada pilihan personal yang melibatkan pengalaman personal pula. Ternyata setelah saya mendalami ilmu agama, musik memang bertolak belakang dengan agama yang saya anut. Sehingga pada akhirnya saya harus memilih satu diantaranya; melanjutkan bermain musik atau berusaha taat pada agama saya dengan konsekuensi yang sangat berat awalnya yaitu harus meninggalkan semua hingar-bingar dunia mosphit dan mulai mendalami agama. Bukan hanya itu, ada banyak sekali hal yang dulu sering saya lakukan ternyata kontradiktif dengan agama yang saya anut. Bermain musik, pacaran, merokok, minum khamr, nongkrong dan banyak hal lainnya. Walau dengan sedikit berat hati saya mulai meninggalkannya satu persatu sampai saat ini.
Tapi memang waktu cepat sekali berlalu. Sebulan lamanya tak terasa sehingga saya harus pulang kembali ke halmahera untuk beberapa tugas yang belum rampung saya buat totem.

Berteriak-teriak menyanyikan lagu tak karuan ditengah lautan manusia yang setengah mabuk menjadi ciri khas kita dimasa itu. Menghabiskan waktu hingga tengat malam dengan obrolan yang sebetulnya tak penting namun tetap intim adalah hal yang tak bisa saya dapatkan disini bersama kawan baru. Melakukan tour keliling kota tetangga dengan uang seadanya adalah hal yang sering saya rindukan sesekali. Patungan untuk mengganti simbal yang rusak akibat berdansa setengah mabuk menjadi hal yang membuat saya merasa bahagia jika mengingatnya hari-hari ini.
Namun semua itu kini hanya tinggal memori yang jika kita mau tinggal kita gali kembali setelah usang dimakan waktu berkali-kali.

Saya ingat beberapa hari setelah saya sampai dicipanas, saya dan beberapa kawan lama sengaja membuat janji untuk bertemu di sebuah tempat untuk sekedar menghabiskan waktu dengan bercerita dihadapan secangkir kopi hangat sebagai antitesa dari hiruk-pikuk kebanalan aktivitas kita selama ini.
Bercerita tentang semua hal yang dulu sering kita lakukan memang tak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Dari hal konyol seperti mabuk disiang bolong hingga yang paling tragis sekalipun seperti cerita tentang kepergian almarhum tebo yang mendadak menjadi pengiring dari perbincangan kita malam itu.
Ingatan tentang hari-hari waras itu memang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun, meski suatu hari nanti kita akan pikun dan mulai lupa akan satu sama lain tapi setidaknya lewat tulisan ini saya akan mencoba mengingatnya kembali sekuat ingatan saya suatu hari nanti.
Agustus memang bulan yang akan selalu saya ingat sampai kapanpun. Bukan hanya karena dibulan itu saya pertama kali pergi ke halmahera ini dua tahun silam tapi karena disana memang banyak sekali ingatan yang tak bisa saya tuliskan satu persatu bersama kalian dibulan ini beberapa hari lalu dan beberapa tahun lampau.
Malam semakin larut, waktunya saya mengakhiri tulisan pendek ini.
Besok akan ada banyak sekali pekerjaan yang menuntut keseriusan ditengah-tengah ingatan yang berkelebat tentang masa-masa bersama kalian disana.
Saya masih tetap berharap agar setiap hari dapat saya lewati dengan cepat agar suatu hari nanti saya dapat segera pulang dan bisa merampungkan pekerjaan-pekerjaan insidental kembali disana bersama kalian. Menghabiskan bercangkir-cangkir kopi dengan obrolan lama yang tak ada habisnya kita bahas.
Sebetulnya banyak sekali yang ingin saya utarakan disini namun apa daya tangan tak sampai. Selain waktu yang semakin sempit juga stamina saya yang agak mengendur. Tulisan yang dibuat tengah malam ini sudah saatnya saya akhiri.
Untuk bokir, kodok, golun, gayung, bule, ran, oceng, udeng, moeng, wisnu, eko, iduy, ardi, benjo, panji, opik, memey, eka, bando, ubed, bogel, cimon dan kalian yang tak bisa saya sebutkan satu persatu disini semoga Alloh tetap menjaga kalian dimanapun kalian berada.
Maaf telah merepotkan kalian selama ini.
Tetap berlawan dengan apapun yang kita punya hari ini.
Perjuangan belum berakhir, selama tirani masih subur di negeri ini, selama itu pula kita harus tetap waras.
Tetap semangat dalam menjalani hidup yang harus dihidupi ini.
Saya yakin suatu hari nanti kita akan berkumpul kembali dengan kegilaan yang berbeda namun tetap dengan secangkir kopi yang sama.
Salam juang dari sahabatmu yang terlupakan.

Bardung

Tobelo, halmahera utara 2016

Minggu, 21 Agustus 2016

Saya bingung cari judul buat tulisan ini

Awalnya tak terpikir untuk menulis tulisan ini sebelumnya, tapi karena satu dan lain hal saya pikir ada baiknya saya menuangkannya disini. Jika kamu pikir tulisan ini tak penting dan hanya menghabiskan waktumu, saya mohon untuk tak membacanya. . . . .

                             I
Saya bingung harus memulainya dari mana, karena mungkin sudah beberapa bulan terakhir saya tak pernah menulis lagi. Hingga akhirnya kaku berbias kalut menuntun saya memulainya kembali.
Jika boleh disebut kecewa mungkin saya kecewa. Jika boleh disebut marah mungkin saya marah. Tapi entah apa alasan saya harus marah berbarengan dengan kecewa ini. Tadi malam sebetulnya ada hal yang ingin saya sampaikan, beberapa point mungkin memang tak penting. Saya rela berlusuh-lusuh menyempatkan diri pergi ke sebuah konser musik-yang sebenarnya bertolak belakang dengan nurani saya- di Cianjur sepulang dari Bandung agar dapat bertemu denganmu. Bisa menghabiskan saat-saat terkahir saya dicipanas dengan orang yang tak biasa. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain sehingga kita tak dipertemukan malam itu.
Dengan sedikit mendramatisir keadaan saya pulang dengan rasa kecewa bergelayut di muka tadi malam. Berharap orang yang tak biasa itu bisa mengerti mengapa saya rela menyisihkan waktu ditengah hiruk-pikuk aktivitas saya yang tak penting ini.

Kalau boleh sedikit bercerita kenapa keadaannya menjadi sedikit rumit-bagi saya setidaknya-sekarang. Jujur saja beberapa tahun lalu saya tak pernah terpikir untuk cepat-cepat mempunyai perasaan seperti ini (saya enggan menyebutnya jatuh cinta). Ada beberapa hal yang sebetulnya sedang saya geluti beberapa tahun kebelakang sehingga perhatian saya sangat tersita pada hal-hal tersebut. Bukannya so heroik atau semacamnya tapi jujur saja sebetulnya saya sedang mendalami ilmu agama dan sedikit marxisme belakangan ini. Keadaanlah yang merubah saya seperti ini. Karena kebetulan saya tinggal di daerah timur yang refresifitas aparatnya terhadap rakyat jelata sangat massif dan brutal, membuat saya harus terus belajar manajemen konflik tentang peta konflik agraria, filsafat ilmu, antropologi budaya dan agama sekaligus.
Bayangkan saja hampir setiap pagi saya melihat pedagang yang dikejar-kejar oleh aparat karena dilarang berjualan. Harus rela disebut antek-antek ISIS hanya karena menjalankan sunnah Nabi. Belajar bagaimana penetrasi kapital bisa merubah pranata sosial-ekonomi masyarakat lewat hegemoni budaya yang mereka tanamkan dengan mekanisme pasar bebasnya. Kira-kira seperti itulah dinamika yang saya hadapi setiap hari disana sehingga belajar lebih kritis memandang lingkup kehidupan masyarakat jelata membuat perhatian saya terhadap buku-buku politik, agama, filsafat, ekonomi, sosial dan sains membuat saya lupa rasanya jatuh cinta seperti sekarang.
Dan entah dalam sebulan ini mungkin saya lalai terhadap tugas saya atau memang terlalu banyak waktu luang yang saya habiskan percuma sehingga keadaan membuat saya seperti ini. Harus punya perasaan aneh seperti ini lagi setelah selama 3-4 tahun terakhir saya tidak pernah merasaknnya lagi seperti padamu hari-hari ini.
Tapi ada mekanisme yang luput dari pandangan saya selama ini; bahwa manusia sebetulnya diciptakan berpasangan dan itu adalah hal ilahiah yang memang setiap manusia harus merasakannya-setidaknya sekali seumur hidup. Dan berumah tangga adalah sebuah fase yang tidak bisa terelakkan lagi sebagai pencapaian akhir dari entitas tertinggi atas apa yang sering orang sebut cinta. Rasanya aneh sekali bisa merasakannya kembali setelah bertahun-tahun hidup sendiri dan sedikit berjarak dengan perempuan bukan karena kehilangan hasrat tapi perhatian saya terlalu besar pada ide-ide politik revolusioner yang membuat energi saya terkuras habis untuk itu.

Lalu apa tujuan saya menulis esai pendek ini? Begini, saya tahu saya bukan orang yang punya rasa percaya diri tinggi sehingga bisa mengutarakan perasaan ini langsung padamu sehingga saya memutuskan untuk menuliskannya di blog pribadi saya sebagai arsip pribadi untuk dikenang juga marka pengingat bahwa saya pernah jatuh cinta pada perempuan luar biasa sepertimu. Mungkin bagian ini terdengar berlebihan (atau mungkin semua bagian esai ini terdengar berlebihan?).
Sebelum saya benar-benar pergi dan tak bisa lagi bersua denganmu ada beberapa hal yang ingin saya utarakan sebagai nasihat-walau saya tak yakin ini adalah sebuah nasihat.
Pertama saya minta maaf karena sudah lancang mempunyai perasaan ini. Saya pun tak mengerti jika harus dijelaskan bagaimana awalnya bisa seperti ini, karena semuanya begitu alamiah mengalir tanpa saya sadari sebelumnya bisa tiba-tiba muncul tanpa saya kehendaki. Dan saya tak perlu jawaban apapun untuk semuanya. Karena tak mungkin jika kita kembali pada perbuatan jahiliyah seperti dahulu untuk melabuhkan perasaan ini sebagai pembuktian dari semuanya. Jadi saat ini, saya hanya sedang mengintenskan berdoa agar kita diberi hasil akhir yang baik oleh Tuhan. Disamping itu, saya juga sedang memperbaiki diri agar kelak jika kita memang berjodoh saya tak ingin jadi imam yang gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Saya harap kamu pun begitu.
Kedua, jika Tuhan tak mempertemukan kita lagi, saya harap akan ada orang yang memang benar-benar mencintaimu  dengan ikhlas dan memandang kekuranganmu sebagai kekuatan dan kelebihanmu sebagai alasan untuk berlawan. Dan tentunya bisa membuatmu bahagia dunia-akhirat.
Ketiga (eh banyak amat ya? Hehehe) jika memang kita tak berjodoh, saya ingin kamu dapat memilih lelaki yang memang mengerti agama. Karena zaman sekarang, jika agamanya saja dia abaikan bagaimana bisa berumah tangga ditengah badai fitnah seperti sekarang.
Dan terakhir sebelum mengakhiri tulisan ini, saya harap tak ada yang berubah diantara kita setelah kamu membacanya. Tetap berinteraksi seperti biasa seperlunya dengan batasan-batasan syar'i tentunya. Jangan berpikir bahwa dengan saya menulis tulisan ini membuatmu berpikiran saya ingin menjauh karena ketidakidealan sebelumnya.
Asal kamu tahu, saya benar-benar butuh orang seperti kamu untuk tetap bertahan melawan para tiran; yang sudah barang tentu itu bukan tugas yang mudah untuk orang seperti saya.
Dan saya harap kamu mengerti.
Ingat anekdot ini; setiap lelaki yang hebat pasti ada wanita kuat dibelakangnya.
Akhirul kalam.

I love you with every nerves in my hand :)

Cipanas, 23 agustus 2016

Ramadhan Yang Perlu Diingat