Kamis, 26 April 2018

Demoralisasi!

May Day tinggal menghitung hari. Perayaan hari buruh tahun ini sepertinya akan jadi pertanda sesuatu. Pertanda akan mengeringnya imaji dan runtuhnya idealisme yang selama ini saya yakini.
Beberapa hari ini saya sengaja membaca kembali buku-buku Marx. Ketika tak ada yang mampu membuat saya tersenyum optimis, tulisan-tulisan Marx melakukannya dengan baik seperti biasa. Ramalan tentang runtuhnya kapitalisme yang diusung Marx menjadi semacam opium bagi saya. Namun hari-hari ini ia tak berefek sama. Saya melihat rona pesimis dalam jari-jari saya ketika membuka lembar-lembar tulisan Marx. Kapitalisme tak kunjung runtuh. Tesis Fukuyama tentang akhir sejarah selalu terbesit akhir-akhir ini dalam benak saya. Nampaknya saya harus lebih realistis, dunia memang baik-baik saja. Ia tak seperti apa yang sering dikoar-koarkan oleh aktivis kiri manapun, bahwa dunia sedang sakit hari ini. Melihat kawan-kawan kiri-kanan saya, banyak dari mereka yang sudah menjual jubah idealisme mereka dan menggantinya dengan baju kepasrahan lalu rela tunduk begitu saja melupakan apa yang dulu mereka perjuangkan. Apa mungkin ini yang dirasakan Almarhum Sondang ketika berniat melakukan bakar diri didepan Istana Negara dulu? Merasa putus asa karena jalan perjuangan yang selama ini di idamkan mulus tak kunjung menemui titik terang. Lalu kawan-kawan yang dulu pernah lantang melawan dunia, kini berubah jadi jongos dan menyerah pada kapitalisme. Ah Sondang, saya sangat paham tentang apa yang kau rasakan. Musuh kita terlalu banyak, sedangkan senjata kita tak cukup hanya untuk menghantam satu saja dari mereka. Menyerah terlalu beresiko, tapi sepertinya hanya itu pilihan paling logis ketimbang harus mati sia-sia memperjuangkan omong kosong belaka. Lupakan hari buruh itu. Mulailah menjadi manusia normal. Lupakan semua ide-ide utopia mu itu. Bersikaplah seperti semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu lebai mengamini ide-ide Marx. Ia hanyalah racun yang hanya membuatmu malas dan tak ingin bekerja.
Lupakan tentang mengorganisir massa. Lupakan tentang bagaimana petani kulon progo berjuang melawan pabrik semen. Lupakan perjuangan kawan-kawan di rembang yang menuntut keadilan. Lupakan tentang kepalan tangan yang lantang melawan pembangunan bandara di Yogyakarta.
Lupakan tentang demo menuntut penghapusan outsourcing dan segala tetek bengeknya. Mulainya hidup seperti manusia kebanyakan. Mengikuti arus kemanapun ia membawamu, sekalipun itu ke neraka. Sekalipun kebebasanmu mereka renggut dengan semena-mena. Perlawanan tak pernah panjang umur!
Maafkan kami Marx, Engels, Lenin, Tan dan semua pejuang yang tak pernah kenal lelah diseluruh muka bumi. Kami hanya generasi yang gagal meneruskan estapet perjuangan kalian. Demoralisasi menjadi makanan kai sehari-hari. Semoga didepan, tak ada generasi seperti kami lagi.

Minggu, 01 April 2018

Mananti batas sabarmu

Akankah bahumu selalu tertanggal, jika keluh selalu ku rapal?
Akankah kau tetap tangguh, jika beban selalu ku curah padamu?
Atau akankah pelukmu tetap jadi selimut, jika senja mulai berkabut?
Atau akankah senyum itu memudar kala amarahku tak kunjung padam?

Dik, jika benar sabarmu tak berbatas untukku, akankah ketika jemarimu yang keriput itu nanti tetap setia mengisi ruang kosong dijemari ini?


Ramadhan Yang Perlu Diingat